Faktanews.com – Pohuwato. Persoalan banjir yang saat ini melanda Ibukota Kabupaten Pohuwato serta beberapa Desa di musim penghujan ini banyak kalangan menilai tidak hanya diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi, banyak yang berasumsi bahwa hal tersebut pun disebabkan oleh adanya kedangkalan sungai yang berakibat pada meluapnya air karena tidak mampu menampung air yang mengalir dari hulu ke hilir.
Disaat curah hujan tinggi selama beberapa jam yang nyaris turun setiap hari dan dangkalnya aliran sungai hingga ke muara serta hilangnya beberapa titik resapan air ini pun di duga kuat menjadi dalang terjadinya banjir yang sampai saat ini belum bisa ditangani secara efektif dan efisien oleh Pemerintah setempat. Terlebih lagi soal kualitas air yang ada di Daerah Alirah Sungai (DAS) Taluduyunu Kecamatan Buntulia, DAS Randangan – Taluditi dan Sungai Dengilo – Paguat, Ini seharusnya mengundang perhatian dari seluruh pihak pemangku kepentingan untuk mengatasi kris air bersih di Bumi Panua.
Pemerintah Daerah dan seluruh element terkait seyogyanya menyatu dan dan duduk bersama membahas tentang bagaimana cara mengatasi persoalan banjir dan air bersih, debit air yang mengaliri sungai, persoalan sedimentasi di sungai sampai ke saluran irigasi persawahan, luapan air ketika curah hujan tinggi. Memang, banyak kalangan mengakui bahwa selama masa pandemi covid-19, Kabupaten Pohuwato tampak stabil ekonomi masyarakatnya karena memiliki 3 profesi masyarakat yang saling menopang satu sama lain sehingga tempat-tempat perbelanjaan masyarakat dan perputaran uang di Bumi Panua masih terasa stabil. Hal tersebut dikarenakan wilayah pertambangan, pertanian dan perikanan hadir sebagai pekerjaan yang solutif.

Oleh karena itu, sudah semestinya 3 profesi rakyat ini saling mendukung demi terciptanya keseragaman dan kesetaraan pendapatan satu sama lain. Berdasarkan analisa lapangan tentang persentase masyarakat yang berprofesi sebagai penambang, petani dan nelayan, terdapat perbedaan penghasilan secara signifikan, namun antara satu dan yang lain tidak lantas mengabaikan lain, misalnya penambang acuh tak acuh terhadap nasib masyarakat petani dan nelayan atau sebaliknya.
Untuk itu, upaya antisipatif dalam meminimalisir terjadinya banjir lanjutan serta kemungkinan muncul konflik sosial horizontal di masyarakat, seharusnya Pemerintah Daerah beserta jajaran Forkopimda mengundang dan menghimbau secara intensif kepada para masyarakat pelaku usaha pertambangan, pertanian dan nelayan untuk bahu-membahu mencari solusi jangka panjang bersama agar penambang tidak lagi dihantui oleh ilegalnya areal pertambangan, petani tidak was-was soal sedimen yang masuk ke areal persawahan dan nelayan tidak lagi khawatir berlebihan terhadap hasil melaut mereka karena adanya dugaan zat Mercuri pertambangan yang mengalir sampai ke laut dan dangkalnya muara oleh sedimentasi. Sebab, selama ini persoalan banjir dan krisis air bersih di Kabupaten Pohuwato hampir menjadi bencana tahunan yang sangat berpotensi dapat menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Soal lain, alih fungsi lahan oleh penambang yang menjadi areal Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) juga berpengaruh, karena dulu kedalaman dan luasan aliran sungai masih mampu untuk mencegah terjadinya banjir bencana lainnya yang mungkin akan muncul kemudian hari, oleh sebab itu kedepan Pemerintah Daerah dan seluruh unsur Forkopimda wajib perketat lagi alih fungsi atas lahan tambang serta kerusakan DAS Taluduyunu. Tentu, cara satu-satunya adalah dengan mempercepat proses perizinan tambang rakyat berupa WPR dan IPR serta pengerukan sedimen atau normalisasi sungai / saluran irigasi.
Terakhir, mengingat Kabupaten Pohuwato adalah wilayah yang sangat dekat dengan laut, maka Forkopimda, Penambang, Petani dan Nelayan harus duduk bersama secara berkala guna menciptakan sinergitas antar seluruh elemen, terlebih dalam situasi pandemi Covid 19 saat ini yang tentu dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan dan kesetaraan serta keadilan.
Penulis: Jhojo Rumampuk