Oleh : Jhojo Rumampuk
Faktanews.com – Tajuk. Kisruh tentang adanya salah satu oknum Anggota DPRD Kabupaten Pohuwato yang rangkap jabatan menjadi pembahasan hangat menjelang perayaan ulang tahun Bumi Panua yang ke 20.
Pasalnya, dalam setiap diskusi. Baik di warung kopi hingga beberapa grup internal Kabupaten Pohuwato masih menjadi perdebatan antara melanggar regulasi UU nomor 17 Tahun 2014 juncto UU nomor 2 tahun 2018 ataukah sang Anggota DPRD masih mempedomani aturan internal DPRD (Tata Tertib) yang disepakati antara sesama Aleg.
Tentu publik dibuat bingung. Sebab, didalam UU nomor 17 Tahun 2014 yang mengatur tentang adanya larangan rangkap jabatan untuk Anggota DPR/DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota sangat jelas yang dijabarkan dalam huruh (k) yang menyatakan bahwa Aleg dilarang merangkap jabatan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota.
Penekanan larangan serupa pun diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”), yaitu dalam Pasal 134 dan Pasal 188 UU Pemda.
Memang secara absolut tidak ada aturan yang menyatakan larangan bagi setiap Anggota DPR/DPRD untuk menjabat sebagai bahagian dari Direksi atau komisaris dan juga sebagai pemegang saham dalam sebuah perseroan. Tetapi, wajib diketahui bahwa ada sebuah penekanan dalam kalimat “pekerjaan lain apapun yang juga dilakukan oleh anggota DPR/DPRD, tidak boleh ada hubungannya dengan wewenang dan tugasnya sebagai anggota DPR/DPRD.”
Tentu kebijakan ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan, Dimana pro dan kontra lahir dikarenakan adanya penggunaan anggaran dalam operasional kegiatan kelembagaan yang sumber anggarannya berasal dari APBN/APBD.
Pihak kontra berpendapat bahwa rangkap jabatan merupakan sesuatu yang salah karena berpotensi KKN dan menyalahi prosedur hukum, terutama dalam penggunaan anggaran. Sementara pihak yang pro berpendapat bahwa rangkap jabatan merupakan sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan karena memang sudah ada aturan jelas yang mengaturnya dan juga terkait dengan penggunaan anggaran bukan menjadi masalah karena bersumber dari sumber anggaran yang berbeda.
Namun, sebahagian orang pasti akan berpersepsi dengan jabatannya sebagai Anggota DPRD. Dirinya akan menggunakan pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan atau wholeness dari objek (Anggaran APBD/APBN), hal tersebut pasti akan memberikan penjelasan tentang variabel-variabel penting serta proses Subjek yang digunakan apakah sesuai rujukan hukum (Peraturan Perundang-Undangan) dan pendapat ahli.
Menurut pendapat Bagir Manan, yang disebut
dengan pejabat negara merupakan pejabat yang eksistensinya (lingkungan kerja) berada di lembaga negara, yaitu alat kelengkapan negara beserta turunannya (derivatifnya) seperti lembaga negara pendukung.
Dengan demikian yang disebut sebagai pejabat negara adalah Anggota DPR RI/DPRD Kabupaten/Kota adalah pejabat-pejabat melaksanakan fungsinya untuk dan/atau atas nama negara. Eksistensi sebagai pejabat negara dengan sendirinya memiliki pengaturan tentang perlakuan (hak dan kewajiban) kepada seseorang yang menempati jabatan pada lembaga negara dan merangkap sebagai Ketua Yayasan ini dianggap melanggar ketentuan regulasi yang ada.
Sehingganya, sebahagian orang menyatakan bahwa setiap Anggota DPRD yang melaksanakan 2 tugas atas anggaran APBD yang sama akan diperhadapkan dengan 2 pilihan yakni melepas jabatannya sebagai Anggota Legislatif atau Jabatannya sebagai Ketua Yayasan.
Sementara itu, jika kita berbicara tentang Tata Tertib DPRD. Dalam penjabaran Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018, Tatib dan kode etik DPRD merupakan sebuah rancangan yang representatif dan konstruktif untuk dipatuhi oleh seluruh anggota DPRD tanpa kecuali dalam melaksanakan tugas dan fungsi DPRD melayani masyarakat.
Sehingga bisa didefinisikan bahwa Tata Tertib dan kode etik DPRD adalah sebuah peraturan yang ditetapkan oleh pihak DPRD yang berlaku dilingkungan DPRD dan kode etik DPRD adalah sebuah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota DPRD selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.
Namun hal itu perlu dibuktikan kembali. Jika Anggota DPRD tersebut merangkap dan mengelola keuangan sebuah yayasan atau organisasi, tentu dalam regulasi terkait akuntabilitas penggunaan hibah, pemberian hibah pasti dilengkapi dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara pemerintah daerah dengan penerima hibah serta adanya kewajiban penerima hibah untuk memberikan pertanggungjawaban atas penggunaan dana hibah yang diterima. (Berbagai Sumber)