Ketika integritas hanya sebatas slogan dan akuntabilitas dibungkus dengan kepentingan politik, maka kepercayaan publik pada lembaga legislatif berada di jurang paling rapuh.
Kasus dugaan suap yang menyeret Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili, adalah contoh nyata bagaimana dugaan pelanggaran berat bisa dikerdilkan menjadi isu sepele oleh lembaga yang seharusnya berdiri paling depan dalam menjaga marwah demokrasi DPRD itu sendiri.
Sudah berbulan-bulan berlalu sejak mencuatnya informasi tentang dugaan suap yang menyeret nama Ketua DPRD, namun tidak ada progres berarti dari Badan Kehormatan DPRD.
Proses yang semestinya cepat, transparan, dan terbuka, justru dibiarkan mengambang tanpa kepastian. Alih-alih menunjukkan keseriusan, BK DPRD malah seperti sebagai perisai pelindung bagi kepentingan elite tertentu.
BK DPRD, Lembaga Pengaman atau Lembaga Pengabur Fakta?. Jika aduan dugaan pelanggaran etika yang menyangkut marwah lembaga tidak bisa segera ditindaklanjuti oleh Badan Kehormatan, lalu untuk apa keberadaannya? Bukankah tugas pokok BK adalah menegakkan kode etik dan menjaga integritas anggota DPRD?
Yang terjadi justru sebaliknya. BK seolah berjalan di tempat. Tidak ada pernyataan tegas tentang progres investigasi internal. Sebuah pola klasik dengan metode perlambatan terstruktur untuk mengulur waktu hingga publik lupa.
Skandal yang Membisu di Gedung Rakyat
Dugaan suap kepada sejumlah oknum DPRD yang katanya berkaitan dengan dugaan adanya aliran dana dari sebuah perusahaan pertambangan yang ada di Kabupaten Pohuwato bukan tudingan kecil. Apalagi bila dikaitkan langsung dengan Ketua DPRD.
Dalam sistem parlementer yang sehat, kasus seperti ini seharusnya cukup untuk mendorong pembentukan panitia khusus (pansus), audit independen, dan keterlibatan instansi hukum eksternal seperti KPK atau Kejaksaan Tinggi.
Tapi di Gorontalo? Semua bungkam. Semua menghindar. Semua berlindung di balik kalimat klasik: “Masih dikaji oleh BK.”
Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal kemauan politik untuk menegakkan etika dan hukum secara adil, termasuk terhadap pimpinan tertinggi lembaga legislatif. Tapi sepertinya, bagi sebagian anggota dewan, solidaritas kolektif lebih penting daripada kebenaran publik.
Akibatnya? Legitimasi Dewan Tergerus
Lambannya penanganan kasus ini bukan hanya menyakiti citra individu, tapi menghancurkan legitimasi kelembagaan DPRD Provinsi Gorontalo di mata rakyat. Bagaimana rakyat bisa percaya, jika anggota DPRD sendiri tidak bisa menegakkan disiplin dan kode etik di tubuh mereka sendiri?
Celakanya, DPRD justru sibuk mengurusi hal-hal kosmetik seperti rapat seremonial, kunjungan kerja keluar daerah. Sementara isu utama yang menyangkut kepercayaan publik terhadap pilar demokrasi lokal terus dihindari, ditutup, dan diredam.
Dengan adanya lembaga DPRD yang tak kunjung bersikap, maka bola harus digulirkan ke publik. Organisasi masyarakat sipil, media independen, dan elemen mahasiswa harus mendorong mekanisme tekanan politik, mulai dari gelar pendapat publik, laporan ke aparat penegak hukum eksternal, hingga inisiatif gugatan etik melalui jalur konstitusional.
Karena DPRD bukan milik Thomas Mopili atau partai pengusungnya. DPRD milik rakyat. Dan jika lembaga itu gagal menjalankan fungsi kontrol internal, maka rakyat berhak mempertanyakan seluruh proses demokrasi yang tengah berlangsung di provinsi ini.
Disaat Etika Mati di Tangan Sesama Aleg, DPRD Provinsi Gorontalo sedang menghadapi ujian besar. Tapi sayangnya, sebagian besar justru memilih menjadi bagian dari masalah, bukan penyelesaian.
Dugaan suap yang menyeret Ketua DPRD hanyalah puncak dari gunung es di bawahnya terdapat jaringan kepentingan, perlindungan elite, dan ketakutan akan runtuhnya dominasi politik lokal.
Jika kebenaran terus dikaburkan, jika hukum dan etika terus dinegosiasikan, maka pada akhirnya rakyat akan menjatuhkan vonisnya sendiri. Tidak lewat palu sidang, tapi lewat kotak suara, suara media, dan suara perlawanan moral dari rakyat yang muak melihat korupsi dibungkus formalitas.