Oleh : Jhojo Rumampuk
Suasana ruang kerja yang mewah itu terasa mencekam malam ini. Lampu kristal di langit-langit menerangi wajah tegang Sarton, seorang jaksa senior yang biasanya tampak tenang dan terkendali.
Di hadapannya, Jaya Wahyudi, anggota DPRD yang biasanya berlagak terlalu percaya diri, kini duduk gelisah dengan keringat membasahi dahinya.
“Pak Jaya,” suara Sarton terdengar dingin, intensif ini sudah viral di media sosial. Wartawan sudah mulai menggali lebih dalam.”Jaya menelan ludah.
“Pak Jaksa, saya sudah berusaha menenangkan rekan-rekan di fraksi dan DPRD. Tapi mereka juga panik. Apalagi setelah dokumen anggaran serta laporan pemeriksaan bocor kemarin.”
Sarton bangkit dari kursinya, berjalan menghampiri jendela besar yang menghadap ke kota yang berkilauan.
“Pak Jaya, dua tahun terakhir saya sudah melindungi Anda dan rekan-rekan. Berkas-berkas yang masuk ke meja saya selalu saya ‘tunda’ prosesnya. Tapi sekarang…” dia berbalik, tatapannya tajam. “Media nasional sudah meliput. KPK mulai bergerak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
“Lalu bagaimana, Pak?” Jaya bertanya dengan suara bergetar.
Sarton menghampiri Jaya, suaranya berubah mengancam.
“Dengarkan saya baik-baik. Nama baik kejaksaan dan institusi saya sudah tercoreng karena kelalaian Anda! Jika dalam seminggu ke depan Anda tidak bisa meredam amarah publik, jika demonstrasi terus berlanjut, jika media terus menggoreng kasus ini…” dia berhenti sejenak, menatap mata Jaya tajam.
“Saya akan lepas tangan. Dan ketika saya lepas tangan, saya akan pastikan SEMUA anggota DPRD yang terlibat akan saya proses hingga tuntas.”Tegas Sarton
Jaya terduduk lemas. “Pak, kami sudah terlanjur dalam-dalam. Bagaimana cara meredam ini?” tanya Jaya sambil berfikir keras akan nasibnya.
“Itu urusan Anda!” bentak Sarton. “Anda yang duduk di kursi wakil rakyat, bukan saya. Gunakan semua koneksi politik Anda. Alihkan perhatian publik. Buat isu lain yang lebih besar. Atau…” dia terdiam, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih pelan namun menusuk, “korbankan beberapa anggota junior atau yang senior sebagai kambing hitam.” Ucap dan Jaya tersentak.
“Pak Jaksa, mereka juga punya keluarga…””Dan keluarga saya bagaimana?” potong Sarton. “Istri saya sudah mulai ditanya-tanya oleh teman-teman arisan. Anak saya di kampus mulai disindir. Karier 25 tahun saya bisa hancur karena ulah Anda!”
Ruangan itu kembali hening. Jaya menatap lantai, pikirannya berkecamuk. Sarton kembali duduk, mengambil segelas air dan meminumnya perlahan.
“3 Hari, Pak Jaya,” ucap Sarton akhirnya.
“3 hari untuk membersihkan kekacauan ini. Kalau tidak…” dia membiarkan kalimatnya menggantung di udara.
Jaya bangkit dengan langkah goyah. “Baik, Pak Jaksa. Saya akan berusaha.”
Setelah Jaya keluar, Sarton duduk sendirian di ruangannya. Dia meraih foto keluarga di mejanya, menatapnya lama. Dalam hatinya, dia tahu bahwa dia sudah terlalu jauh masuk ke dalam permainan kotor ini.
Tapi sekarang, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, meskipun harus mengorbankan yang lain.Di luar, kota masih berkilauan dengan lampu-lampunya.
Namun di balik gemerlap itu, tersembunyi kegelapan yang lebih pekat – kegelapan para penguasa yang rela mengorbankan segalanya demi mempertahankan kekuasaan mereka.
Esok harinya, berita tentang dugaan korupsi tunjangan komunikasi intensif DPRD kembali menghiasi headline berbagai media. Sementara di balik layar, permainan politik yang lebih besar mulai digerakkan, melibatkan nama-nama dan kepentingan yang jauh lebih kompleks dari yang bisa dibayangkan publik. [**]