Fakta News – Gorontalo. Sorotan publik terhadap transparansi pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD Provinsi Gorontalo kembali mencuat.
Kali ini, dugaan kuat mengarah pada salah satu oknum anggota dewan yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI) Provinsi Gorontalo, Erwin Ismail, yang disebut-sebut mengalirkan dana pokir pribadinya melalui KONI Provinsi Gorontalo.
Padahal, secara prosedural, KONI bukan lembaga teknis pelaksana yang memiliki kewenangan langsung dalam pengelolaan dana pokir yang bersumber dari aspirasi masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Wahyu Pilobu, salah satu pemerhati kebijakan publik Gorontalo, mengungkapkan adanya kejanggalan yang mencolok dalam proses pengajuan dan realisasi dana pokir tersebut.
“Ini menjadi salah satu kasus yang aneh, dimana seluruh administrasinya seakan dibuat tahu tapi tidak diketahui. Semua tampak rapi di atas kertas, tapi tidak jelas siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas penggunaannya,” ungkap Wahyu.
Menurut Wahyu, prosedur pengajuan Dana Pokir dan Surat Pertanggungjawaban Mutlak (SPTJM) umumnya melibatkan serangkaian mekanisme administratif, mulai dari pengajuan proposal, penyiapan dokumen SPTJM sesuai jenis bantuan, hingga tanda tangan pejabat berwenang. Semua proses itu harus melalui instansi teknis terkait, seperti Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Gorontalo, jika berkaitan dengan kegiatan kepemudaan atau olahraga.
Namun, dalam kasus ini, SPTJM justru dibuat seolah melalui jalur resmi, padahal disalurkan lewat KONI, yang bukan lembaga pelaksana teknis.
Situasi ini memunculkan dugaan kuat bahwa KONI hanya dijadikan wadah atau “titipan” untuk memuluskan realisasi dana pokir tersebut.
Yang membuat persoalan semakin kabur adalah posisi ganda Erwin Ismail sebagai anggota DPRD Provinsi, sekaligus Ketua IMI Gorontalo, dan anak dari Gubernur Gorontalo. Posisi strategis ini dinilai menjadi ruang abu-abu antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
“Erwin seolah memanfaatkan posisinya di dua kaki, di DPRD sebagai pemilik dana aspirasi, dan di IMI sebagai penerima manfaat. Padahal, seharusnya dana aspirasi lebih menyentuh kebutuhan rakyat, bukan kepentingan komunitas yang berada di bawah kepemimpinannya sendiri,” ujar Wahyu Pilobu menegaskan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius soal etika dan integritas legislatif, mengingat dana pokir adalah representasi suara rakyat yang seharusnya diarahkan pada program yang berorientasi pada kepentingan umum dan bukan pada lembaga yang dipimpin oleh anggota dewan itu sendiri.
Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa mekanisme formal hanya dijadikan formalitas administratif, sementara proses real di lapangan tidak memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
Temuan sementara dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2024 atas penggunaan anggaran tahun 2023 disebut turut menyoroti sejumlah ketidakwajaran dalam dana hibah KONI, terutama pada aspek pertanggungjawaban kegiatan dan dokumen pendukung yang belum lengkap hingga kini.
BPK mencatat bahwa terdapat sejumlah dana hibah yang diterima lembaga olahraga tanpa dasar transfer resmi ke rekening organisasi yang sah, namun justru mengalir ke rekening pribadi anggota atau pengurus lembaga terkait.
Jika temuan ini benar, maka hal tersebut berpotensi melanggar ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menegaskan bahwa setiap dana hibah dan pokir harus memiliki dasar hukum, mekanisme verifikasi, dan SPTJM yang sah dari instansi teknis.
Kasus ini kini menunggu sikap dari Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Aparat Penegak Hukum (APH). Publik mendesak agar Erwin Ismail tidak berlindung di balik jabatan dan garis keturunan politiknya, serta agar penggunaan dana pokir benar-benar diaudit secara menyeluruh dan transparan.
“Jangan sampai ada kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kalau masyarakat salah sedikit langsung disorot, tapi kalau dewan yang menyimpang, seakan bisa diatur,” pungkas Wahyu Pilobu.
![]()












