Oleh : Jhojo Rumampuk
Fakta News – Opini. Ketua Komisi III DPRD Gorontalo Utara, Dheninda Chaerunisa, kembali menjadi sorotan publik setelah himbauannya kepada calon P3K paruh waktu memicu gelombang reaksi keras dari sejumlah aktivis Gorut.
Dalam pernyataannya, Dheninda mengingatkan agar para calon tidak mudah percaya pada pihak-pihak yang meminta sejumlah dana dengan janji bisa meloloskan mereka dalam proses rekrutmen.
Sekilas, himbauan itu terdengar wajar, bahkan bentuk keprihatinan dan perlindungan moral terhadap P3K paruh waktu yang rawan menjadi korban praktik curang. Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan tafsir berbeda di kalangan aktivis.
Alasannya sederhana, tidak adanya pembeda yang tegas antara istilah “calo” dan “aktivis.”
Sebuah himbauan agar tidak percaya kepada para calo, mungkin membuat para aktivis menilai, himbauan tersebut mengandung stigma tersembunyi yang seolah-olah menempatkan masyarakat sipil di posisi tersangka sosial.
Di mata Aktivis Gorontalo Utara, pernyataan itu menimbulkan kesan bahwa aktivis ikut bermain dalam praktik pungutan liar rekrutmen tenaga kontrak. Padahal, dua istilah ini sangat berbeda, baik dari sisi moral maupun peran sosial.
Mereka pun menegaskan, perjuangan aktivis justru untuk memastikan proses rekrutmen berjalan transparan dan bebas dari praktik jual beli jabatan.
Dalam konteks niat, Dheninda sejatinya membela P3K. Ia menunjukkan kepedulian terhadap para calon tenaga kerja yang sering menjadi korban harapan palsu. Namun dalam praktik komunikasi publik, himbauan itu kehilangan makna karena pilihan kata Dheninda yang dianggap tidak presisi.
Padahal, banyak membutuhkan kejelasan: siapa yang dimaksud dengan “Calo” adalah Aktivis ?
Sebuah penjelasan konkret agar tidak terpengaruh dengan para “Calo” inilah yang membuat pernyataan tersebut berubah dari edukatif menjadi provokatif.
Dalam demokrasi lokal, bahasa memiliki kekuatan politik yang besar. Setiap kata dari seorang pejabat bisa membentuk opini publik, bahkan menciptakan stigma baru yang sulit dihapus.
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah. Apakah ada sebuah kalimat yang menyamakan “Calo” dengan Aktivis ?
Relasi antara aktivis dan DPRD Gorontalo Utara sejatinya berjalan dinamis dan penuh kritik namun saling mengawasi.
Sayangnya, pernyataan Dheninda justru dianggap membuka celah ketegangan baru di tengah upaya publik mengawal transparansi rekrutmen P3K.
Himbauan moral seharusnya menjadi bentuk tanggung jawab pejabat terhadap rakyat. Namun tanpa kejelasan batas makna, himbauan itu bisa berubah menjadi tuduhan halus.
Dheninda Chaerunisa perlu menegaskan kembali maksud ucapannya, bahwa yang ia maksud bukanlah aktivis, melainkan pihak-pihak yang benar-benar berperan sebagai calo dan pengumpul dana ilegal.
Karena jika tidak, narasi publik akan terus terbelah antara mereka yang menuduh dan mereka yang merasa dituduh.
Jika benar Dheninda hanya ingin melindungi calon P3K dari jebakan calo, maka niatnya patut diapresiasi.
Namun bagaimana dengan sekelompok orang yang memainkan kata “Calo” dan diganti dengan kalimat Aktivis ?
Kita semua pun harus memastikan agar setiap tindakan tidak mencederai kehormatan kelompok masyarakat yang selama ini menjadi pilar moral daerah.
Demokrasi lokal akan sehat jika pejabat dan aktivis berjalan di jalur yang sama, bukan saling mencurigai.
Dan dari Gorontalo Utara, kita belajar bahwa kadang, kesalahan terbesar bukan pada niat, tetapi pada permainan kata yang gagal memahami rasa.
![]()












