Oleh : Jhojo Rumampuk
Fakta News – Opini. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2025 seharusnya menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap komitmen pemberantasan korupsi di daerah.
Namun di Gorontalo, peringatan itu justru terasa hambar. Bahkan ironisnya, ketika Kejaksaan Tinggi Gorontalo dengan penuh percaya diri menyampaikan klaim telah “menyelamatkan” uang negara sebesar Rp882 juta.
Angka itu memang terdengar besar di panggung seremoni, namun menjadi sangat kecil ketika disandingkan dengan tumpukan kasus yang justru didiamkan, ditunda, bahkan dibiarkan mengendap seperti fosil di laci penyelidikan.
Klaim penyelamatan Rp882 juta itu seolah ingin menunjukkan bahwa penegakan hukum di Gorontalo berjalan efektif. Namun efektif untuk siapa?
Untuk publik yang mendambakan transparansi? Ataukah efektif sebagai tameng untuk meredam kritik bahwa penanganan berbagai kasus kini semakin tidak jelas ujungnya?
Sementara masyarakat disuguhi angka “heroik”, ada sejumlah perkara yang jauh lebih besar dan lebih berdampak yang justru tidak bergerak. Di sinilah letak ironi Hakordia: peringatan kencang, tindakan pincang.
Sepi Seperti Tidak Ada Masalah, itu yang pantas disematkan pada kasus dugaan korupsi perjalanan dinas (perjadin) mantan Wali Kota Gorontalo yang sudah sejak lama disorot publik namun tampak seperti diperlakukan dengan penuh kelembutan.
Tidak ada kecepatan penanganan, tidak ada transparansi dan tidak ada perkembangan berarti.
Padahal dari sisi kepentingan publik, kasus seperti ini seharusnya menjadi prioritas. Nilai kerugian negara jauh lebih besar dari angka Rp882 juta yang dijadikan bahan klaim keberhasilan.
Namun seolah-olah kasus itu sedang memasuki fase “hibernasi hukum”, menunggu waktu yang “tepat” untuk keluar atau tidak keluar sama sekali.
Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lingkungan (AMMPL) telah melaporkan dugaan gratifikasi terkait persoalan tambang di Gorontalo. Sudah tujuh bulan, laporan itu tidak pernah mendapat kejelasan.
Bukan hanya tidak ada tindakan yang terlihat, bahkan informasi pun tak diberikan, seolah pelapor tidak punya hak untuk mengetahui nasib laporan mereka. Padahal, dalam semangat transparansi dan akuntabilitas, pelapor seharusnya memiliki akses untuk mengetahui perkembangan minimal status laporan.
Ketika Kejaksaan Tinggi bisa mengumumkan penyelamatan Rp882 juta dengan lantang, mengapa perkembangan laporan AMMPL tidak bisa diumumkan dengan cara yang sama?
Penulis melihat apa yang disampaikan oleh Wakil Kepala Kejati Gorontalo saat ini seperti Seremoni Tanpa Substansi.
Hakordia bukan sekadar agenda pasang banner, jalan santai, seminar, atau pidato resmi. Hakordia adalah cermin. Dan di cermin 2025 ini, yang tampak di Gorontalo adalah:
Kasus besar yang diam dan dipeti-eskan dan pelapor yang tidak diberi kejelasan. Angka penyelamatan uang yang tidak sebanding dengan potensi kebocoran yang lebih besar
Institusi penegak hukum yang lebih sibuk dengan narasi pencitraan daripada konsistensi pada tindakan. Jika Hakordia membawa tema “Keadilan Tidak Bisa Dinegosiasikan”, maka kenyataan di Gorontalo justru menunjukkan sebaliknya.
Keadilan terlihat seperti barang yang bisa dipending, dinegosiasikan, atau disesuaikan konteks politik dan kepentingan.
Jika benar ingin memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dengan keseriusan, maka Kejati Gorontalo harus menjawab secara jujur.
1. Mengapa kasus Perjadin mantan Wali Kota Gorontalo tidak menunjukkan progres nyata?
2. Apa alasan laporan AMMPL tidak diberikan perkembangan apa pun selama tujuh bulan?
3. Mengapa klaim penyelamatan Rp882 juta diumumkan, tetapi keterbukaan kasus lainnya justru ditutup rapat?
4. Apakah penegakan hukum sedang dipilih-pilih sesuai kepentingan?
Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun ini seharusnya menjadi momen bagi Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk memperlihatkan wajah penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berani. Namun yang terlihat justru kebiasaan lama.
Pola tunda, pola diam, pola seremonial. Uang Rp882 juta mungkin diselamatkan, tetapi kepercayaan publik belum.
Bahkan kepercayaan itu terus menurun seiring makin banyaknya laporan dan kasus yang justru tidak bergerak.
Anti korupsi bukan soal angka yang diumumkan di panggung. Anti korupsi adalah soal kerja nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Dan sampai hari ini, masyarakat Gorontalo masih menunggukapan Kejaksaan Tinggi benar-benar bekerja?
![]()












