Penulis: Jhojo Rumampuk
Polemik dana Rp 100 juta yang berasal dari pos Pariwisata dan justru dialirkan untuk event otomotif IMI Fest kini menjadi sorotan publik.
Bukan hanya karena nilainya, tetapi juga karena proses dan peruntukannya yang diduga melenceng dari asas penggunaan anggaran daerah.
Seorang tokoh masyarakat Bone Bolango bahkan menegaskan, “Kalau industri otomotif, khususnya modifikasi dan produk turunannya, bisa dianggap bagian dari ekonomi kreatif.
Tapi kalau event IMI Fest dikategorikan pariwisata, itu kurang tepat.” Pernyataan ini seolah menyentil keras logika pemerintah daerah.
Situasi ini mengingatkan pada praktik “penitipan” dana pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD ke KONI tahun 2023. Modusnya mirip menggunakan anggaran publik di luar peruntukan resmi, dengan payung yang samar dan landasan hukum yang tipis.
1. Penyalahgunaan Kewenangan (Pasal 3 UU Tipikor)
Jika Dinas Pariwisata tidak memiliki kewenangan atau dasar hukum untuk membiayai event otomotif IMI, maka tindakan ini masuk ranah penyalahgunaan wewenang.
Apalagi jika dananya berasal dari “efisiensi anggaran” yang tidak diarahkan sesuai rencana kerja (Renja), rencana strategis (Renstra), atau dokumen pelaksanaan anggaran (DPA).
Indikator risiko tipikor:
– Ada intervensi dari luar atau pengondisian agar kegiatan IMI dibiayai pariwisata.
– IMI memperoleh fasilitas atau dana publik yang bukan haknya Karena Ketua IMI Anak Gubernur Gorontalo
2. Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 2 UU Tipikor)
Event otomotif yang tidak memiliki output dan outcome jelas untuk sektor pariwisata dapat dianggap melanggar asas peruntukan anggaran.
Jika tidak ada SPJ yang akuntabel, tidak melalui proses pengadaan sesuai Perpres 16/2018 tentang PBJ, atau terdapat penggelembungan biaya, maka jelas ada unsur perbuatan melawan hukum.Indikator risiko tipikor:
– Laporan kegiatan berpotensi tidak lengkap atau fiktif.- Bukti hasil kegiatan tidak tersedia atau tidak sesuai kenyataan.
– Pengadaan diarahkan kepada pihak tertentu.
3. Potensi Kerugian Negara- Dana publik sebesar Rp 100 juta bisa dikategorikan sebagai kerugian negara jika:
– Tidak berdampak pada sektor pariwisata.- Tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan administrasi.
– Tidak masuk dalam prioritas daerah.Kasus ini bukan sekadar perdebatan definisi antara “pariwisata” dan “olahraga otomotif”. Intinya adalah apakah penggunaan dana publik sesuai aturan dan memberi manfaat publik yang nyata.
Sementara, sangat jelas pernyataan dari Melalui Ketua Harian IMI Gorontalo Lennon Koniyo, yang mengatakan bahwa Dinas Pariwisata adalah tempat penitipan anggaran untuk mensponsori kegiatan IMI Gorontalo.
” Kenapa melalui Dinas Pariwisata, karena dana tersebut akan kami alokasikan ke event kejuaraan nasional balap motor dan kontes tahunan dengan tajuk IMI Fest, ” Jelasnya di salah satu media online, pada beberapa waktu lalu.
Kejaksaan Tinggi dan Polda Gorontalo harus melirik potensi korupsi dalam penggunaan dana ini. Jangan sampai IMI Fest menjadi ajang pembenaran anggaran yang melenceng, seperti pola lama “main mata” yang sudah berulang kali terjadi di sektor olahraga dan hiburan.
APBD adalah amanah rakyat, bukan kas “sponsor pribadi”. Jika ada pembiaran, publik akan semakin yakin bahwa praktik penyalahgunaan wewenang sudah dianggap hal biasa di tubuh pemerintah daerah.