Example floating
Example floating
Headline

Laporan Mengendap, BK DPRD Gorontalo Terjebak Sindrom Peti Es

×

Laporan Mengendap, BK DPRD Gorontalo Terjebak Sindrom Peti Es

Sebarkan artikel ini

Oleh : Jhojo Rumampuk

Hingga hari ini, masyarakat di Gorontalo seakan dipaksa menyaksikan drama panjang yang membosankan, laporan demi laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan sumpah janji jabatan oleh oknum Anggota DPRD Provinsi Gorontalo masuk ke meja Badan Kehormatan (BK), namun nasibnya tak pernah jelas.

Example 300x300

Kasus-kasus itu berjalan lambat, bertele-tele, bahkan memunculkan kesan dipetieskan. Pertanyaan mendasar yang muncul tentang masihkah kita bisa berharap bahwa BK benar-benar bekerja sebagai lembaga penjaga marwah DPRD, ataukah ia hanya sekadar ruang arsip bagi aduan yang tak kunjung diselesaikan?

Setidaknya ada empat kasus besar yang menyeret nama para wakil rakyat di Deprov Gorontalo:

1. Indikasi pelanggaran kode etik dan sumpah janji jabatan Komisi III terkait dugaan gratifikasi ( baca : https://faktanews.com/2024/11/18/dugaan-gratifikasi-dpd-pjs-gorontalo-laporkan-komisi-iii-dprd-provinsi/ ). Kasus ini menjadi pintu masuk betapa lemahnya pengawasan internal terhadap perilaku anggota dewan.

2. Dugaan gratifikasi dan kolusi MAMI di tubuh Deprov yang melibatkan PIAD ( baca : https://faktanews.com/2025/03/10/dugaan-gratifikasi-dan-kolusi-mami-di-deprov-gorontalo-lembaga-vs-kredibilitas-badan-kehormatan/ ). Di sini, kita semua melihat bagaimana relasi kuasa bisa berubah menjadi barter kepentingan.

3. Dugaan gratifikasi Ketua DPRD bersama dua oknum aleg lain dalam kasus pertambangan ( baca : https://faktanews.com/2025/03/13/3-oknum-aleg-provinsi-diduga-terima-suap-dari-pt-pets/ ). Kasus ini bahkan menyentuh ranah yang lebih serius, kepentingan ekonomi besar yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak.

4. Dugaan penyalahgunaan kendaraan dinas operasional oleh Ketua DPRD ( baca : https://faktanews.com/2025/05/29/badan-kehormatan-deprov-gorontalo-usut-dugaan-penyalahgunaan-mobil-dinas-oleh-ketua-dprd/ ). Meski terlihat “sepele”, kasus ini mempertegas wajah arogan pejabat publik yang memperlakukan fasilitas negara seolah milik pribadi.

Rangkaian kasus tersebut cukup untuk mengguncang legitimasi lembaga legislatif. Namun yang lebih menyedihkan adalah respons lamban dari BK. Alih-alih bergerak cepat, transparan, dan akuntabel, BK justru terlihat gagap, seolah menunggu waktu meredupkan isu hingga dilupakan publik.

Secara normatif, BK memiliki mandat menjaga kehormatan DPRD melalui penegakan kode etik dan sumpah janji jabatan. Namun realitas di Gorontalo justru menunjukkan gejala “sindrom peti es”. Laporan masuk, diproses setengah hati, lalu lenyap tanpa kejelasan.

Apakah BK tidak memiliki instrumen hukum dan prosedur yang jelas untuk menuntaskan aduan

Atau jangan-jangan ada faktor politis yang membuat laporan-laporan tersebut sengaja diperlambat dan diarahkan untuk tidak berujung pada sanksi tegas?

Jika demikian, BK tidak lagi berfungsi sebagai benteng etika, melainkan justru menjadi “perisai politik” bagi para pelanggar etik di DPRD.Keterlambatan dan ketidakjelasan dalam penanganan laporan bukan sekadar masalah teknis, tapi melukai demokrasi. Ia mencederai kepercayaan masyarakat Gorontalo terhadap DPRD sebagai lembaga representasi rakyat.

Demokrasi daerah bisa runtuh bukan karena rakyat apatis, melainkan karena lembaga politiknya sendiri gagal menjaga integritas.Lebih jauh, dugaan gratifikasi dan kolusi, terutama yang berkaitan dengan pertambangan, menunjukkan adanya kompromi terhadap kepentingan ekonomi besar.

Jika benar adanya, ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap sumpah jabatan: bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok.

Sudah saatnya BK berhenti bersembunyi di balik alasan prosedural dan administrasi. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama. Setiap laporan publik harus diproses secara terbuka, dengan tenggat waktu yang jelas, dan hasil akhirnya harus diumumkan ke masyarakat.

Jika tidak, kita semua yang merupakan masyarakat Provinsi Gorontalo yang memiliki kedaulatan berhak menilai bahwa BK hanya ada untuk melindungi kolega, bukan menegakkan kehormatan. Ironisnya, sikap seperti itu justru mempercepat delegitimasi DPRD di mata rakyat Gorontalo.

Lambannya penyelesaian aduan terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan sumpah janji jabatan oleh oknum DPRD Provinsi Gorontalo adalah alarm keras bagi demokrasi lokal. Jika BK terus abai, maka lembaga ini tak lebih dari sekadar ornamen konstitusional yang kehilangan makna.

Pada akhirnya, masyarakat Gorontalo tidak membutuhkan DPRD yang piawai beretorika, tetapi dewan yang berani bertanggung jawab, menjaga integritas, dan menegakkan kode etik tanpa pandang bulu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Example 300x300
Example 120x600