Kebijakan Dirreskrimsus Bisa Picu Gejolak, September Jadi Bulan Trauma
Fakta News – Pohuwato. Surat Telegram Nomor ST/14/RES.5.5./2025 yang dikeluarkan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Gorontalo kembali memantik kekhawatiran publik.
Alih-alih dipandang sebagai instrumen penegakan hukum, kebijakan ini justru dikhawatirkan mengulang tragedi kelam yang pernah mengguncang Bumi Panua.
Bagi masyarakat Pohuwato, September bukan sekadar pergantian bulan. Ia adalah bulan trauma, ketika kantor Bupati dibakar, bentrok terjadi, dan luka kolektif menggores ingatan.
Kini, dengan adanya telegram baru tersebut, bayang-bayang amarah sosial terasa makin nyata.
Ketakutan masyarakat saat ini adalah Jangan Sampai Pohuwato Terbakar Lagi.
“Kami tidak menolak aturan, tapi jangan hanya datang dengan polisi dan borgol. Rakyat butuh solusi, bukan intimidasi. Kalau cara ini diterapkan lagi, saya khawatir Pohuwato akan terbakar untuk kedua kalinya.” Ujar salah satu Tokoh Masyarakat yang namanya enggan disebutkan namanya.
Nada serupa datang dari tokoh masyarakat Desa Hulawa bahwa trauma dan masa kelam berpotensi terulang kembali.
“Kami masih trauma. September selalu mengingatkan kami pada hari kelam. Kalau aparat tidak belajar dari peristiwa itu, maka jangan salahkan rakyat bila gejolak kembali pecah.” imbuhnya
Telegram Dirreskrimsus memang dimaksudkan untuk menertibkan praktik ilegal, termasuk tambang tanpa izin (PETI). Namun, pertanyaan publik tetap sama, apa solusi untuk rakyat?Pohuwato bukan sekadar titik di peta hukum.
Ia adalah tanah hidup ribuan keluarga. Menutup tambang tanpa legalisasi dan tanpa jalan keluar hanya akan menambah beban ekonomi warga. Jika aparat hadir hanya dengan pendekatan represif, maka potensi konflik tinggal menunggu waktu.
Opini publik menilai, Polda Gorontalo harus membaca situasi sosial dengan lebih jernih. Surat Telegram Nomor ST/14/RES.5.5./2025 bisa menjadi jalan menuju keadilan, tetapi jika diterapkan dengan salah, ia bisa pula menjadi pemantik bara yang mengulang tragedi.
September seharusnya jadi momentum refleksi, bukan pengulangan duka.Sejarah telah mengingatkan, ketika rakyat merasa dipinggirkan, mereka akan memilih jalan protes. Dan protes yang tak direspons dengan bijak, hanya akan melahirkan luka baru.