Oleh : Jhojo Rumampuk
Fakta News – Opini. Di tanah Pohuwato, tambang emas tidak hanya menggali perut bumi, ia juga menggali integritas dan moral para pemegang mandat rakyat. Polemik pertambangan di Kabupaten Pohuwato makin hari bukan mereda, justru menjadi potret buram bagaimana uang tambang dapat menjadi kompas baru bagi sebagian penguasa, menggantikan tanggung jawab dan nurani.
Semua bermula pada Maret 2025. Seorang warga, Salahudin Pakaya, melapor ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo, menuding dua oknum anggota DPRD menerima aliran dana dari salah satu perusahaan tambang di Pohuwato.
Aduan ini semestinya menjadi jalan pembuka penegakan etika legislatif namun seperti kasus-kasus lain di negeri ini, nyala transparansi kembali diredam oleh kepentingan gelap.
Tak berselang lama, publik dikejutkan dengan pengakuan Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili. Ia menyampaikan bahwa dirinya menerima sebuah amplop coklat setebal laptop berisi uang yang diduga berasal dari perusahaan tambang dengan tujuan yang sangat politis: menggagalkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pertambangan.
Jika benar demikian, maka uang itu bukan sekadar gratifikasi, melainkan peluru politik untuk membungkam suara rakyat yang menuntut keadilan lingkungan dan hak atas tanah.
Dari perlawanan Wahyudin Moridu, Anggota Komisi I, gagasan pembentukan Pansus Pertambangan akhirnya disetujui oleh hampir 30 anggota DPRD. Sebuah angka yang menunjukkan bahwa sebagian parlemen masih memiliki nyali terhadap oligarki tambang.
Tapi optimisme itu tidak berumur panjang.
Sudah 7 bulan, Pansus berjalan. Melebihi batas waktu 6 bulan yang telah ditentukan. Ironisnya, mereka tak pernah sekalipun mengundang pihak perusahaan tambang untuk rapat resmi di gedung DPRD. Transparansi di ilmiahkan hanya dalam retorika, tak pernah dibuktikan dalam kerja nyata.
Lebih mencurigakan lagi, tiba-tiba muncul kabar bahwa rekomendasi Pansus akan diserahkan pada hari Senin. Pertanyaan publik menggelitik.
“Bagaimana mungkin Pansus menghasilkan rekomendasi tanpa investigasi yang tegas terhadap perusahaan tambang?”
Jika hasil rekomendasi itu nantinya hanya lembaran basa-basi untuk mengamankan kepentingan korporasi, maka Pansus tidak jauh berbeda dari kotak amal yang kosong dan dipajang hanya untuk pencitraan moral.
Puncak kegaduhan meledak setelah beredarnya rekaman percakapan antar anggota DPRD yang juga merupakan anggota Pansus Pertambangan. Dalam rekaman tersebut, terdengar jelas adanya tindakan intervensi dan intimidasi terhadap anggota DPRD yang mengkritisi peralihan saham KUD Dharma Tani kepada anak Perusahaan Merdeka Cooper Gold yang tidak lain dari dapil yang sama (Boalemo–Pohuwato.)
Nada ancamannya tegas:
“Jangan ikut campur, PT. PETS itu sangat kuat. Di belakangnya ada banyak orang.”
“Kapolda, Gubernur, dan Bupati adalah orangnya PT. PETS.”
Jika pernyataan itu valid, maka kita sedang menyaksikan sebuah simbol kemunduran demokrasi, sebab institusi negara bukan lagi penjaga rakyat melainkan pagar besi yang mengawal kepentingan korporasi tambang.
Mengapa Polemik Pertambangan Tak Pernah Selesai?. Jawabannya tampak semakin terang.
Karena terlalu banyak “penjaga tambang” di dalam pemerintahan. Karena keberpihakan aparat dan pejabat sudah disandera oleh amplop-amplop coklat.
Hal tersebut diduga karena parlemen yang harusnya mengawasi justru tergoda untuk “dibeli diamnya”.
Dan ketika derasnya aliran uang tambang ini bergerak hingga ke tingkat provinsi, maka penyelesaian persoalan PETI, konflik lahan, hingga kerusakan hutan hanyalah pertunjukan sandiwara yang pemainnya sudah tahu akhir cerita.
Besok kita semua menunggu satu hal. Yaitu isi rekomendasi Pansus Pertambangan DPRD Provinsi Gorontalo.
Namun yang menjadi pertanyaan terbesar Akan kah rekomendasi itu menjadi sejarah keberanian DPRD melawan korporasi atau justru bukti final bahwa legislatif telah menjadi kepanjangan tangan oligarki?
Jika rekomendasi itu berpihak pada rakyat, maka masih ada harapan bahwa demokrasi tidak sepenuhnya digadai.
Namun, Jika rekomendasi itu melindungi tambang, maka rakyat harus bersuara lebih keras. Sebab pengkhianatan sudah terang tengah dipertontonkan di depan mata.
Pohuwato tidak hanya sedang menghadapi gugusan alat berat di hutan. Ia sedang menghadapi alat-alat kekuasaan yang tak kalah destruktif. Amplop tebal, intervensi politik, dan intimidasi terhadap suara yang berbeda.
Pansus Pertambangan adalah cerminan siapa sesungguhnya DPRD Provinsi Gorontalo. Apakah mereka wakil tambang, atau wakil rakyat.
Kini waktunya kita semua mengawasi lebih ketat, jangan sampai rekomendasi Pansus hanya menjadi naskah legitimasi bagi mereka yang sejak awal berniat menjual suara rakyat kepada korporasi.
Karena ketika pertambangan menyandera kekuasaan, maka yang terkubur bukan hanya emas tetapi masa depan rakyat Pohuwato.
![]()












