Fakta News – Gorontalo. Gelombang pertanyaan publik kembali mengguncang Pemerintah Provinsi Gorontalo. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun Fakta News, DPRD Provinsi Gorontalo mendapatkan tambahan anggaran fantastis sebesar Rp17 miliar.
Ironisnya, dana tersebut terindikasi berasal dari pos krusial yakni Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) dan Belanja Tak Terduga (BTT) yang nilainya berkurang hingga miliaran rupiah.
Data yang diperoleh menunjukkan, BTT yang awalnya Rp12 miliar kini terpangkas sekitar Rp4 miliar, sementara TPP ASN dipangkas hingga Rp11 miliar.
Potongan ini memunculkan dugaan bahwa pemerintah lebih mengutamakan belanja legislatif dibanding kebutuhan mendesak lain, termasuk potensi bencana dan hak penghasilan pegawai.
Saat dikonfirmasi, Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Gorontalo, Espin Tuli, menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kapasitas penuh untuk menjawab terkait alokasi anggaran DPRD.
“Maaf, sebaiknya yang diwawancarai perihal anggaran DPRD adalah pimpinan. Mereka yang memiliki kapasitas untuk menjawab. Namun saya tegaskan bahwa anggaran DPRD tidak mengambil dari dana BTT dan TPP, sepanjang saya tahu. Kami anggota Banggar menolak tegas akan hal itu, khususnya TPP,” ujar Espin.
Namun, saat disinggung soal data berkurangnya BTT dan TPP, Espin mengakui adanya pengurangan. Menurutnya, BTT memang tidak bisa dikosongkan karena sifatnya wajib tersedia, baik ada bencana maupun tidak. Ia menyebut sisa Rp4 miliar pada BTT digunakan untuk kebutuhan mendesak, termasuk kelanjutan pembangunan RS Ainun Habibie.
“TPP itu dalam perhitungan terakhir berkelebihan, sehingga kelebihan itu diambil untuk menutupi defisit anggaran. Namun dipastikan TPP ASN sampai bulan Desember tetap terbayarkan. Hal ini sudah dipastikan sesuai mekanisme yang berlaku,” jelas Espin.
Meski penjelasan itu berusaha meredam kecurigaan, publik tetap menyoroti fakta bahwa pengurangan TPP dan BTT dilakukan di saat kebutuhan ASN dan kesiapsiagaan bencana menjadi prioritas.
Tambahan Rp17 miliar untuk DPRD, yang sebagian publik menilai tidak mendesak, justru menimbulkan persepsi bahwa anggaran lebih condong pada kepentingan politik ketimbang pelayanan publik.
Hal ini kembali memunculkan pertanyaan lama, apakah orientasi kebijakan anggaran Provinsi Gorontalo benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, ataukah justru lebih mengutamakan kenyamanan kursi empuk para wakilnya?