Oleh : Jhojo Rumampuk
Fakta News – OPINI. Pokok-pokok pikiran (Pokir) Anggota DPRD sejatinya adalah instrumen formal yang lahir dari aspirasi masyarakat dan dijabarkan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dalam sistem tata kelola pemerintahan yang baik, Pokir dimaksudkan sebagai bentuk sinergi antara wakil rakyat dengan pemerintah daerah agar pembangunan benar-benar menyentuh kepentingan publik.
Namun, dalam praktiknya, Pokir seringkali menjelma menjadi celah empuk yang diselewengkan. Bukan lagi instrumen aspiratif, melainkan alat transaksional politik dan ekonomi.
Ketika jalur Pokir memasuki arena “belanja barang dan jasa”, maka di situlah godaan terbesar muncul. Sebab, alokasi belanja barang dan jasa yang dibungkus dengan label Pokir kerap tak lagi berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Regulasi yang mengatur mekanisme Pokir sudah cukup jelas. Dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, Pokir dimasukkan ke dalam aplikasi Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) berdasarkan hasil reses, musyawarah, dan kebutuhan publik yang terverifikasi.
Setelah itu, Pokir akan diakomodir dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), lalu diterjemahkan ke dalam Rencana Kerja (Renja) OPD.
Pokir pada prinsipnya bisa masuk dalam Belanja Barang dan Jasa apabila berupa kegiatan yang menghasilkan manfaat langsung bagi masyarakat, seperti pengadaan sarana publik, pelatihan masyarakat, bantuan sosial produktif, atau peningkatan kapasitas masyarakat melalui program yang benar-benar terukur output-nya.
Namun yang kerap terjadi di lapangan, Pokir hanya menjadi pintu masuk bagi proyek-proyek titipan, mulai dari kegiatan fiktif, mark-up anggaran, hingga praktik pengadaan yang diarahkan. Lebih parah lagi, ada yang mengubah bentuk dan nomenklatur Pokir setelah disetujui demi memuluskan proses pencairan.
Perjalanan dinas dalam nomenklatur keuangan daerah termasuk dalam belanja operasional, bukan belanja modal. Sementara belanja modal adalah pengeluaran yang menghasilkan aset tetap seperti gedung, jalan, jembatan, kendaraan, atau peralatan dengan manfaat jangka panjang.
Perjalanan dinas seharusnya bersifat mendukung pelaksanaan tugas kedinasan, misalnya rapat koordinasi, bimtek, monitoring, studi komparasi, atau representasi resmi lainnya yang disetujui oleh pimpinan daerah dan dicatat secara administratif.
Namun praktik di beberapa daerah menunjukkan kecenderungan penyimpangan masif, di mana perjalanan dinas digunakan untuk menguras anggaran secara sistematis. Modus yang paling umum adalah mengganti kegiatan Pokir dengan nomenklatur “perjalanan dinas”, seolah-olah masih dalam koridor tugas kedewanan, padahal substansi kegiatan sudah menyimpang dari tujuan awal.
Bisakah Pokir Dirubah Menjadi Perjalanan Dinas?
Secara hukum tidak bisa. Pokir adalah hasil proses perencanaan pembangunan yang telah melewati mekanisme musyawarah, penyusunan RKPD, dan pengesahan APBD. Mengubah Pokir menjadi perjalanan dinas berarti mengubah substansi kegiatan tanpa dasar hukum yang sah.
Hal ini bisa dikategorikan sebagai pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPRD dan Kepala Daerah, melanggar Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Lebih jauh, jika pergeseran tersebut dilakukan hanya untuk memuluskan pencairan anggaran pribadi atau kelompok, maka berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi, sesuai Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan… dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun.”
Inilah bentuk manipulasi regulasi yang paling fatal. Mengubah Pokir yang sudah disahkan menjadi “perjalanan dinas” bukan hanya pelanggaran administratif, tapi indikasi kuat adanya rekayasa anggaran.
Proses ini sering dilakukan dengan berbagai alasan formal, kegiatan tidak bisa dilaksanakan, belum ada OPD pelaksana, atau alasan “penyesuaian program”. Padahal esensinya adalah memindahkan alokasi agar lebih mudah dicairkan dan dinikmati.
Secara teknis, perubahan seperti ini tidak dapat dilakukan tanpa revisi APBD atau perubahan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) yang sah. Bila terjadi tanpa mekanisme formal, maka seluruh proses pencairan yang mengikuti bisa dikategorikan belanja tidak sah. Auditor BPK dapat memberikan temuan dengan kategori “kerugian negara” dan merekomendasikan pengembalian.
Lebih dari itu, jika dalam proses tersebut ada indikasi kesengajaan, maka pihak yang terlibat, baik oknum anggota DPRD, pejabat OPD, hingga bendahara pengeluaran dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pokir yang disulap menjadi perjalanan dinas bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Pokir seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pembangunan daerah. Namun ketika jembatan itu dijadikan jalan pintas untuk memperkaya diri, maka runtuhlah makna representasi publik.
Kita tengah menghadapi situasi di mana politik anggaran kehilangan ruh moralnya. DPRD yang seharusnya menjadi pengawas, justru ikut bermain dalam pusaran penyimpangan. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi eksekutor kebijakan publik, malah berkolaborasi dalam permainan anggaran yang merusak tata kelola. (Bersambung)
Siapa Saja Anggota DPRD Yang Terlibat ?
![]()












