Oleh : Jhojo Rumampuk
Fakta News – OPINI. Di dalam sistem pemerintahan daerah, tugas DPRD sudah diatur dengan jelas. Undang-undang tidak pernah memberikan kewenangan kepada anggota legislatif untuk melakukan inspeksi mendadak ke lapangan layaknya aparat eksekutif atau penegak hukum.
Fungsi DPRD adalah mengawasi, menyusun regulasi, dan mengesahkan anggaran bukan mengeksekusi tindakan operasional.
Namun, di Gorontalo, garis batas itu tampaknya mulai dilangkahi. Sebuah aksi sidak yang dilakukan Mikson Yapanto, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo yang turun ke lokasi tromol pertambangan di Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, menyulut perdebatan publik.
Rekaman kegiatannya tersebar luas, namun yang paling penting bukan videonya, melainkan pertanyaan fundamental yang muncul setelahnya.
Apakah ia turun sebagai representasi sah lembaga atau hanya sebagai individu yang menggunakan atribut kelembagaan sebagai legitimasi?
Kita semua perlu mengetahui, bahwa didalam prosedur kelembagaan DPRD tidak bekerja berdasarkan spontanitas. Aspirasi masyarakat yang masuk harus dibahas melalui rapat internal komisi.
Jika sepakat, komisi mengundang dinas teknis untuk melakukan verifikasi dan kajian pendukung. Hasil kajian kemudian disampaikan ke pimpinan DPRD untuk diterbitkan Surat Perintah Tugas (SPT) dan SPPD. Tanpa langkah ini, kegiatan turun lapangan tidak memiliki dasar hukum maupun legitimasi formal.
Jika tidak ada, maka tindakan tersebut bukan sidak lembaga, melainkan aksi pribadi yang memakai nama jabatan.
Lebih jauh, ada fakta yang menambah panjang daftar keganjilan. Pada hari yang sama ketika sidak itu dilakukan, DPRD Provinsi Gorontalo sedang melaksanakan pembahasan RAPBD Tahun 2026 yang merupakan salah satu agenda paling penting dan mendesak dalam siklus pemerintahan daerah.
Dalam tata aturan DPRD, anggota Badan Anggaran dilarang melakukan perjalanan dinas selama pembahasan RAPBD berlangsung.
Larangan ini bukan tanpa alasan. Pembahasan anggaran adalah bagian strategis dari mandat konstitusional DPRD, menentukan arah penggunaan uang rakyat, dan tidak boleh ditinggalkan apalagi digantikan kegiatan lain yang tidak prioritatif.
Apabila Mikson Yapanto pada saat itu berstatus sebagai bagian dari Badan Anggaran, maka tindakannya bukan hanya menabrak mekanisme komisi, tetapi juga melanggar aturan internal saat pembahasan anggaran sedang berlangsung.
Jika dibiarkan, tindakan seperti ini menciptakan preseden berbahaya: anggota DPRD dapat bergerak secara mandiri, tanpa mandat, tanpa dokumen resmi, tanpa koordinasi, namun memakai otoritas lembaga.
Tindakan semacam itu berpotensi mencampuradukkan fungsi pengawasan yang bersifat prosedural dengan tindakan represif yang tidak memiliki dasar formal.
Pengawasan DPRD seharusnya elegan dan berbasis bukti, bukan berbentuk safari mendadak yang mudah dipertanyakan motif maupun landasan hukumnya.
DPRD adalah lembaga yang harus bekerja dengan disiplin akan aturan—aturan yang mereka sahkan sendiri. Ketika anggotanya mulai bergerak di luar jalur, yang tercoreng bukan lagi nama pribadi, tetapi marwah institusi.
Karena itu, klarifikasi dari pimpinan DPRD sudah bukan sekadar harapan, tetapi kebutuhan publik. Apakah sidak Mikson adalah mandat sah atau sekadar aksi solo yang kemudian disebarkan untuk membentuk citra pengawasan populis?
Jika ditemukan pelanggaran regulasi, etika, maupun tata tertib, maka mekanisme sanksi harus diberlakukan. Sebab dalam demokrasi, jabatan tidak boleh menjadi tameng untuk bertindak sesuka hati.
Dalam negara hukum, yang membedakan kewenangan dari kesewenang-wenangan adalah aturan. Dan pada kasus ini, justru aturan itulah yang tampaknya dilompati.
Apakah sidak ini legal atau sebenarnya sebuah tindakan yang dilakukan di luar mandat dan melanggar prosedur yang berlaku?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah DPRD Gorontalo masih berdiri sebagai lembaga yang terhormat atau justru mulai menjadi panggung tindakan individual yang mengabaikan tata aturan.
![]()












