Oleh : Jhojo Rumampuk
Di bumi Serambi Madinah, Gorontalo, kita sedang menyaksikan sebuah ironi besar. Ketika hukum seharusnya menjadi panglima, justru ia menjadi budak kepentingan. Ketika aparat seharusnya menegakkan keadilan, mereka justru tunduk pada kuasa modal.
Dan hari ini, sasaran kritik itu tidak lain ditujukan kepada Polda Gorontalo yang tampak begitu lemah, bahkan pengecut, di hadapan sosok Haji Suci, aktor besar di balik praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang menghancurkan hutan, sungai, dan kehidupan masyarakat Pohuwato.Fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri.
Puluhan alat berat bekerja siang malam mengeruk tanah, menggunduli hutan, dan meracuni aliran sungai dengan merkuri serta sianida. Semua orang tahu siapa pemain utama di balik operasi ilegal ini. Nama Haji Suci bukan lagi rahasia. Ia disebut-sebut sebagai pengendali tambang emas ilegal yang menggurita di Pohuwato.
Namun, apa yang dilakukan Polda Gorontalo? Tidak ada! Tidak ada tindakan tegas, tidak ada operasi gabungan, tidak ada upaya nyata untuk menyelamatkan lingkungan dan masyarakat. Yang ada hanyalah Restu Diam Yang Begitu Mahal.
Diam yang artinya sama dengan setuju. Diam yang artinya sama dengan ikut menikmati keuntungan.Peran polisi seharusnya jelas. Menindak kejahatan, melindungi masyarakat, menjaga lingkungan.
Tetapi di Pohuwato, semua itu terbalik. Polisi memilih menjadi penonton, sementara rakyat menjadi korban. Petani kehilangan lahan produktif mereka. Nelayan merasakan hasil tangkapan berkurang akibat sungai dan laut yang tercemar.
Anak-anak tumbuh dengan ancaman penyakit kronis akibat racun tambang yang masuk ke tubuh mereka.
Inilah tragedi terbesar. Dimana hukum mati di tangan aparatnya sendiri.
Pertanyaan besar yang patut diajukan, Mengapa Haji Suci begitu kebal hukum? Apakah benar ia lebih berkuasa daripada negara? Ataukah negara dalam hal ini aparat kepolisian sengaja membiarkan ia kebal karena ada aliran uang yang mengikat?
Kebisuan Polda Gorontalo hanya menguatkan satu kesimpulan, ada sesuatu yang busuk di tubuh penegak hukum. Jika seorang rakyat kecil menebang pohon di hutan, ia bisa segera ditangkap. Tapi jika seorang cukong tambang merusak hutan dengan puluhan ekskavator, aparat justru menutup mata.
Kita menyebut sikap Polda Gorontalo bukan sekadar lalai, tapi pengecut. Karena untuk melawan rakyat kecil mereka berani. Untuk menilang pengendara motor tanpa helm mereka sigap. Tapi ketika berhadapan dengan pengusaha tambang besar seperti Haji Suci, mereka tiarap.
Pertanyaan besar yang patut diajukan, Mengapa Haji Suci begitu kebal hukum? Apakah benar ia lebih berkuasa daripada negara? Ataukah negara dalam hal ini aparat kepolisian sengaja membiarkan ia kebal karena ada aliran uang yang mengikat?
Kebisuan Polda Gorontalo hanya menguatkan satu kesimpulan, ada sesuatu yang busuk di tubuh penegak hukum. Jika seorang rakyat kecil menebang pohon di hutan, ia bisa segera ditangkap. Tapi jika seorang cukong tambang merusak hutan dengan puluhan ekskavator, aparat justru menutup mata.
Kita menyebut sikap Polda Gorontalo bukan sekadar lalai, tapi pengecut.
Karena untuk melawan rakyat kecil mereka berani. Untuk menilang pengendara motor tanpa helm mereka sigap. Tapi ketika berhadapan dengan pengusaha tambang besar seperti Haji Suci, mereka tiarap.
Konstitusi, terhadap janji sumpah bhayangkara, dan terhadap masa depan anak cucu di Pohuwato.
Jika aparat memilih diam, maka kita semua tidak boleh diam. Jika polisi memilih menjadi pengecut, maka masyarakat sipil harus memilih menjadi berani. Karena setiap kali ekskavator Haji Suci menggali tanah, yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga hak generasi mendatang untuk hidup di tanah yang sehat.
Kasus PETI di Pohuwato adalah cermin telanjang bahwa hukum di Gorontalo telah diperdagangkan, dan ini adalah wajah hukum di Gorontalo. Polda dan Polres Pohuwato memilih tunduk pada kuasa modal, ketimbang pada suara rakyat. Mereka lebih takut pada Haji Suci ketimbang pada Tuhan dan rakyat yang memberi mereka gaji.
Ingatlah, sejarah selalu mencatat. Kepengecutan aparat hari ini akan menjadi bahan bakar kemarahan rakyat esok hari. Dan tidak ada kekuasaan yang abadi di atas penderitaan rakyat.