Oleh: Jhojo Rumampuk || Direktur PT. Fakta Media Butota
Fakta News – Opini. Dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sejatinya adalah ruang representatif yang menjembatani aspirasi rakyat ke dalam kebijakan pembangunan. Melalui Pokir, anggota DPRD diharapkan menyalurkan hasil penyerapan aspirasi masyarakat agar dapat diakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Namun dalam praktiknya, idealisme itu sering kali tereduksi. Di banyak daerah, termasuk Gorontalo, Pokir telah menjelma menjadi ruang transaksional dan alat tawar-menawar politik dan ekonomi yang kerap disalahgunakan untuk kepentingan kelompok, jaringan pribadi, bahkan komunitas yang sama sekali tidak merepresentasikan kebutuhan masyarakat miskin.
Dasar hukum Pokir secara tegas diatur dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah.
Pasal 178 hingga 183 menegaskan bahwa Pokir merupakan hasil penelaahan aspirasi masyarakat yang diperoleh dari kegiatan reses, kunjungan kerja, serta rapat-rapat dengan masyarakat.
Pokir harus disampaikan secara resmi kepada Pemerintah Daerah sebelum penyusunan RKPD, sehingga dapat diselaraskan dengan prioritas pembangunan daerah.
Namun di lapangan, proses ini justru sering terjadi setelah Musrenbang selesai, bahkan menjelang penetapan APBD. Pokir pun muncul bukan sebagai hasil aspirasi, melainkan sebagai pesanan politik yang diatur agar sejalan dengan kepentingan kelompok atau konstituen tertentu.
Reses seharusnya menjadi forum demokratis bagi rakyat menyuarakan kebutuhannya. Tetapi dalam praktiknya, reses lebih banyak bersifat simbolik.
Laporan aspirasi masyarakat yang dikumpulkan sering kali hanya formalitas. Dari ratusan aspirasi warga, hanya segelintir yang “diangkat” menjadi Pokir tentu saja yang memiliki nilai politik atau keuntungan ekonomi.
Fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah ketika Pokir diarahkan kepada kelompok atau organisasi tertentu, termasuk cabang olahraga (Cabor), komunitas binaan, atau organisasi yang memiliki kedekatan personal dengan anggota DPRD.
Padahal, Cabor bukanlah representasi masyarakat miskin yang menjadi prioritas utama pembangunan sosial ekonomi.
Ketika dana publik dialirkan ke lembaga yang bersifat hobi, prestasi, atau kegiatan eksklusif, maka terjadi deviasi moral terhadap hak rakyat kecil yang mestinya menjadi sasaran utama kebijakan.
Pokir idealnya diinput melalui Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) sebelum Musrenbang RKPD digelar. Tetapi banyak daerah yang masih membuka ruang “negosiasi politik” antara DPRD dan OPD setelah proses teknokratis selesai.
Inilah yang disebut sebagai ruang gelap Pokir, tempat di mana aspirasi publik ditukar dengan kesepakatan politik dan pengaruh proyek.
Beberapa kasus memperlihatkan bahwa Pokir sering diarahkan ke sektor non-prioritas seperti kegiatan komunitas olahraga, festival, atau bantuan ke kelompok binaan politik.
Padahal, Permendagri 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dengan tegas menyebut bahwa setiap program yang diusulkan harus berbasis pada kebutuhan masyarakat luas dan memiliki output yang terukur bagi peningkatan kesejahteraan publik.
Ketika Pokir diarahkan ke kelompok hobi, cabang olahraga, atau komunitas eksklusif, maka hal itu sudah tidak sejalan dengan prinsip efektivitas dan keadilan anggaran.
Setelah Pokir masuk dalam RKPD dan DPA OPD, pelaksanaannya sering kali keluar dari rel hukum. Seharusnya DPRD berhenti pada tahap pengusulan dan pengawasan.
Tetapi kenyataan menunjukkan adanya intervensi langsung anggota dewan dalam penentuan pelaksana kegiatan, rekanan proyek, bahkan penerima manfaat.
Ketika anggota DPRD ikut menentukan penerima bantuan atau pelaksana proyek Pokir termasuk pada bantuan ke Cabor atau organisasi tertentu, maka hal itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam:
Pasal 17 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
dan Pasal 3 UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001), apabila terdapat unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Selain itu, Kode Etik DPRD di berbagai daerah juga melarang keras anggota dewan menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu.
Dengan demikian, menyalurkan Pokir ke lembaga olahraga atau organisasi yang tidak mewakili kepentingan publik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika berat, bahkan potensi tindak pidana korupsi jika ada unsur gratifikasi atau kolusi dalam pelaksanaannya.
Sanksi bagi penyalahgunaan Pokir tidak hanya bersifat moral, tetapi juga administratif dan pidana.
1. Sanksi Etik dan Politik:
Badan Kehormatan DPRD dapat memberikan teguran, peringatan keras, hingga rekomendasi pemberhentian bagi anggota DPRD yang terbukti menggunakan Pokir untuk kepentingan pribadi, partai, atau kelompok tertentu.
2. Sanksi Administratif:
Berdasarkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah berhak menolak atau membatalkan Pokir yang tidak sesuai dengan RKPD dan prioritas pembangunan.
3. Sanksi Hukum (Pidana):
Jika ditemukan adanya aliran dana, fee proyek, atau kolusi dengan pihak penerima bantuan Pokir (misalnya Cabor atau lembaga tertentu), maka pelakunya dapat dijerat Pasal 12 huruf e dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Pada intinya, Pokir bukan ruang “hibah politik”. Setiap rupiah yang keluar dari APBD adalah uang rakyat, dan karenanya wajib dipertanggungjawabkan secara publik.
Ketika Pokir berubah menjadi instrumen patronase untuk membiayai organisasi, kegiatan eksklusif, atau bahkan komunitas olahraga yang tidak memiliki dampak langsung terhadap masyarakat miskin, maka itu bukan lagi aspirasi melainkan penyelewengan kewenangan.
Pokok-Pokok Pikiran DPRD sejatinya adalah cermin moral wakil rakyat. Namun ketika cermin itu retak oleh kepentingan sempit, maka wajah demokrasi daerah pun terlihat buram.
Menyalurkan Pokir ke kelompok eksklusif, termasuk cabang olahraga yang tidak berorientasi pada kemiskinan dan kesejahteraan publik, bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Kita semua berhak tahu ke mana arah Pokir disalurkan. Karena dalam demokrasi, tidak ada ruang gelap bagi anggaran publik.
Jika Pokir terus digunakan untuk kepentingan politik sempit, maka bukan hanya integritas DPRD yang dipertaruhkan, melainkan legitimasi seluruh sistem representasi rakyat di daerah.
Semoga Anggota DPRD Provinsi Gorontalo Bisa Berbenah.
![]()












