Oleh : Redaksi Fakta News
Pantauan udara yang terekam redaksi Fakta News atas kondisi Sungai Buntulia di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, tidak bisa lagi sekadar disebut kerusakan lingkungan.
Puluhan lubang raksasa yang menganga bagai bekas luka tusukan di tubuh bumi adalah saksi bisu betapa praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) telah merobek wajah Pohuwato.
Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan, kini menjelma kolam keruh yang memuntahkan racun, sementara tanah di sekitarnya digerus habis demi butiran emas yang kian hari hanya memperkaya segelintir orang.
Namun, foto udara hanyalah permukaan. Di baliknya, tersimpan ironi yang lebih telanjang tentang adanya kekuatan besar yang seolah kebal hukum, ada restu diam yang mahal dari aparat yang semestinya menjaga.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang membuat Kapolda Gorontalo dan Kapolres Pohuwato begitu gamang menghadapi sosok perempuan yang dijuluki masyarakat sebagai “Sang Ratu PETI Pohuwato”?
Sudah banyak laporan, pengakuan, bahkan pemberitaan yang mengaitkan sang “Ratu PETI” atau dikenal dengan nama Haji Suci dengan puluhan alat berat yang beroperasi secara terbuka. Disebut-sebut jumlahnya lebih dari 20 unit yang mungkin saja itu cukup untuk memporak-porandakan satu kawasan hutan hanya dalam hitungan pekan.
Namun, anehnya, hingga kini aparat seakan kehilangan taring. Tidak ada operasi signifikan, tidak ada tindakan tegas, apalagi proses hukum terhadap Haji Suci.
Jika alasan aparat adalah keterbatasan personel atau kompleksitas hukum, maka itu hanyalah dalih rapuh. Faktanya, publik tahu betul betapa kuatnya peralatan negara dalam menghadapi kelompok masyarakat kecil ketika berbicara soal penertiban.
Tetapi mengapa di hadapan satu figur perempuan, hukum mendadak tumpul? Apakah benar ini ketakutan? Atau justru ada relasi kuasa dan kepentingan ekonomi serta politik yang membuat institusi hukum memilih diam?
Kerusakan di Hulawa adalah bagian dari pola yang berulang. Lubang-lubang raksasa bukan sekadar hasil keserakahan, melainkan produk dari “restu diam” yang terorganisir.
Diam bukan lagi netral, melainkan berbiaya mahal. Diam yang artinya ada sesuatu yang sedang dilindungi, atau ada sesuatu yang dibarter dengan kenyamanan.
Masyarakat Pohuwato semakin kehilangan kepercayaan. Ketika Sungai Buntulia sekarat, aparat justru sibuk dengan seremonial dan pernyataan normatif tentang komitmen penegakan hukum.
Realitas di lapangan membantah semua jargon. Hukum hanya keras bagi yang lemah, tetapi berlutut di hadapan pemilik modal dan jejaring kuat di balik PETI.
Kerusakan lingkungan di Hulawa tidak hanya merusak bentang alam. Ia adalah bom waktu sosial-ekonomi. Air sungai yang tercemar merkuri dan sianida akan mengalir ke ladang, meracuni hasil panen, dan pada akhirnya masuk ke tubuh generasi Pohuwato.
Lubang-lubang raksasa akan berubah menjadi kubangan maut ketika musim hujan datang, mengancam desa di sekitarnya dengan longsor dan banjir bandang.
Generasi mendatang mungkin tidak lagi mengenal Sungai Buntulia sebagai sumber kehidupan, melainkan sebagai kuburan ekologi hasil kolaborasi antara keserakahan penambang dan keberpihakan aparat yang absen.
Opini ini bukan sekadar kritik, tetapi gugatan. Kami menggugat kemandulan negara yang nyata di hadapan PETI Pohuwato.
Gugatan kepada Kapolda Gorontalo dan Kapolres Pohuwato yang memilih diam, padahal hukum seharusnya buta terhadap siapa pun pelaku. Gugatan kepada semua pejabat yang bersembunyi di balik alasan birokrasi, padahal kerusakan sudah begitu nyata.
Sang “Ratu PETI” bukan sekadar individu. Ia adalah simbol dari bobolnya sistem, bukti bahwa hukum bisa dipreteli oleh kekuasaan uang. Jika aparat tidak segera bertindak, maka bukan hanya Hulawa yang hancur, tetapi juga marwah penegakan hukum di Gorontalo.
Foto udara Sungai Buntulia hanyalah permulaan. Ia adalah bukti visual bahwa bumi Pohuwato sedang diperkosa. Tetapi yang lebih berbahaya adalah restu diam dan konspirasi tak bersuara yang menjadikan aparat tidak lebih dari penonton. Dan selama restu diam itu tetap ada, Hulawa hanyalah satu bab dari kisah panjang kehancuran ekologi Pohuwato.
Karena itu, Fakta News akan mencoba menyurati Satgas KPH dan Satgas Birokrasi Polri terkait Buta dan Tulinya Institusi Kepolisian Daerah Gorontalo atas PETI yang dilakukan oleh Haji Suci.
Pembiaran ini tidak boleh berlanjut. Jika negara abai, maka masyarakat akan menuliskannya dengan tinta perlawanan. Pohuwato tidak boleh dijadikan ladang keserakahan yang ditutup rapat oleh kebisuan aparat.