Oleh : Jhojo Rumampuk
Di Kabupaten Pohuwato, tepatnya di Kecamatan Buntulia, telah lama berlangsung sebuah ironi tentang ketika hukum berjalan pincang, dan moral publik digiring pada kekaguman palsu terhadap kekayaan yang dibangun dari pelanggaran.
Nama Haji Suci terus berkibar, bukan karena kontribusi sah terhadap pembangunan daerah, melainkan karena penguasaan wilayah pertambangan ilegal berskala besar yang kini menjadi rahasia umum.
Dengan setidaknya 23 unit alat berat yang beroperasi di lokasi tanpa izin resmi, kita tidak lagi butuh bukti tambahan untuk menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan di Buntulia adalah kejahatan yang nyata, terstruktur, dan berlangsung lama.
Tetapi justru di situlah persoalan utama muncul.Sejak kapan kekayaan dari praktik tambang ilegal menjadi simbol status, bukan pelanggaran hukum?
Sejak kapan pemerintah daerah merasa cukup dengan diam dan seolah semua ini tak terjadi di depan mata?
Dan yang paling menyedihkan, sejak kapan aparat penegak hukum membiarkan pelaku tambang ilegal bertransformasi menjadi dermawan sosial tanpa sentuhan keadilan?Kita semua mudah dibuat lupa.
Ketika bantuan sosial digelontorkan, kita kerap menoleh ke arah yang salah serta melupakan bahwa uang yang dipakai itu adalah hasil dari perusakan bumi kita sendiri.
Haji Suci yang saat ini merasa punya hak moral hanya karena membagi-bagikan kekayaan dari tambang ilegal sebenarnya tidak sedang berbuat baik, melainkan sedang mencuci citra. Inilah bentuk paling halus dari pencucian uang dan pencucian dosa ke khalayak ramai.
Dan lebih parah lagi, praktik ini seolah dibolehkan oleh pembiaran pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga hak rakyat.Pemerintah daerah mulai dari bupati hingga jajaran teknis di dinas terkait tidak bisa terus bersembunyi di balik argumen “itu ranah aparat penegak hukum”.
Penegakan hukum memang bukan sepenuhnya di tangan mereka, tetapi melindungi masyarakat dan lingkungan dari bencana adalah amanat langsung dari konstitusi.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebut bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Maka dari itu, diamnya pemerintah daerah terhadap praktik PETI adalah bentuk pembiaran terhadap pelanggaran konstitusi.
Jika pemerintah daerah tidak mampu melindungi tanah rakyat dari eksploitasi ilegal, maka keberadaan mereka bukan lagi representasi negara, melainkan hanya bayang-bayang dari kekuasaan yang disandera oleh kekuatan uang.
Penegak hukum, terutama Polda Gorontalo dan Kejaksaan Tinggi, harus menjadikan aktivitas tambang ilegal tersebut sebagai prioritas penindakan. Tidak boleh ada lagi ruang kompromi untuk pelaku perusakan lingkungan, apalagi yang telah menjadikan kekayaannya sebagai tameng sosial.
Pemerintah Daerah Pohuwato, termasuk Bupati Saipul Mbuinga, harus mengambil sikap terbuka, tegas, dan berpihak pada keselamatan rakyat. Jika terus bersembunyi di balik retorika normatif, maka kepercayaan akan hilang dan celah itu akan diisi oleh kekuatan-kekuatan informal yang tidak mengenal hukum maupun etika.
Haji Suci mungkin punya uang. Tapi negara ini punya konstitusi. Dan konstitusi harus lebih kuat dari dompet siapa pun.Jika pemerintah daerah tidak hadir untuk rakyat di Buntulia hari ini, maka kelak rakyat akan belajar untuk hidup tanpa negara. Dan ketika itu terjadi, kita semua akan kehilangan lebih dari sekadar emas kita akan kehilangan keadilan.
Sebab saat ini, Haji Suci bisa membeli kebebasannya dengan kekayaan dari emas ilegal, dan ketika Pemerintah Daerah masih terus bermain aman di zona abu-abu, maka mereka bukan bagian dari solusi.