Oleh : Redaksional Fakta News
Fakta News – Tajuk. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Gorontalo terhadap kepatuhan belanja daerah Tahun Anggaran 2022 dan 2023 menyibak tabir yang tidak bisa dianggap sepele.
Temuan mengenai kelebihan pembayaran di lingkup DPRD Kabupaten Gorontalo bukan sekadar catatan administrasi, melainkan indikasi adanya dugaan pelanggaran serius, termasuk potensi pemalsuan dokumen pembayaran.
BPK secara tegas menginstruksikan kepada Bupati Kabupaten Gorontalo, Sekretaris DPRD, Kasubag Keuangan, dan Bendahara Pengeluaran untuk berkomitmen memahami dan mematuhi regulasi mengenai tunjangan anggota dan pimpinan DPRD. Lebih jauh, mereka diwajibkan memproses kelebihan pembayaran yang ditemukan dengan melakukan penyetoran ke kas daerah.Total kelebihan pembayaran yang tercatat mencapai Rp3.859.265.655, dengan rincian:
1. Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 sebesar Rp57.845.000.655.
2. Biaya operasional pimpinan DPRD sebesar Rp181.440.000
3. Tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp2.995.230.000
4. Tunjangan reses senilai Rp624.750.000
Nominal ini bukan sekadar salah ketik atau salah hitung. Di balik angka-angka tersebut, publik patut curiga bahwa terdapat mekanisme yang tidak transparan, bahkan berpotensi direkayasa.
Banyak pihak mungkin akan berargumen, “Kalau sudah dikembalikan ke kas daerah, maka masalah selesai.” Pandangan seperti ini keliru, bahkan berbahaya.
Hukum kita menolak logika itu. Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) menegaskan: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Artinya, meski kerugian negara akibat kelebihan pembayaran ini disetor kembali, perbuatan pidana jika terbukti ada rekayasa, manipulasi, atau pemalsuan dokumen tetap harus diproses secara hukum. Membayar hanyalah kewajiban administratif, bukan tiket kebebasan dari jeratan pidana.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Prof. Jimly Asshiddiqie, pernah menegaskan bahwa “Pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana, karena yang dipertanggungjawabkan bukan sekadar akibat keuangan, melainkan perbuatan melawan hukum itu sendiri.”
Potensi Dugaan Pemalsuan Dokumen Dalam sistem pengelolaan anggaran DPRD, setiap tunjangan maupun operasional melewati mekanisme baku baik dari perencanaan, pengesahan, hingga pencairan.
Penyimpangan dalam jumlah besar tidak mungkin muncul tanpa adanya persetujuan berjenjang, atau lebih buruk lagi, tanpa adanya dokumen-dokumen yang diduga dipalsukan untuk memperkuat pencairan anggaran.
Dugaan pemalsuan dokumen bisa berupa,
1. Rekayasa laporan keuangan dengan tanda tangan pejabat tertentu.
2. Manipulasi daftar penerima atau jumlah hak yang melebihi ketentuan.
3. SPJ fiktif (surat pertanggungjawaban fiktif), praktik klasik yang sering ditemukan BPK di daerah.
4. Jika skema ini terbukti, maka perkara masuk ke ranah pidana, baik tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan 3 UU Tipikor) maupun tindak pidana pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP).
Ahli keuangan publik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rimawan Pradiptyo, dalam risetnya tentang tata kelola keuangan daerah menulis.“Setiap anomali dalam realisasi belanja daerah yang melibatkan dokumen fiktif atau manipulatif, secara hukum bukan hanya kelalaian administratif, tetapi indikasi kuat adanya kesengajaan yang berimplikasi pidana.” DPRD, Lembaga Pengawas yang Terjebak Konflik Kepentingan.
Ironi semakin kentara karena DPRD adalah lembaga yang semestinya menjadi pengawas pelaksanaan APBD. Namun dalam kasus ini, justru DPRD Kabupaten Gorontalo berada di posisi yang diwarnai dugaan penyimpangan.
Bagaimana mungkin lembaga pengawas justru ikut menikmati anggaran yang diduga dimanipulasi? Masyarakat Gorontalo berhak bertanya.
Apakah DPRD masih memiliki legitimasi moral untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah?
Ataukah DPRD hanya menjadi “perpanjangan tangan” kepentingan politik dan anggaran, alih-alih corong rakyat?
Bola panas kini ada di tangan Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Laporan BPK tidak boleh dipandang sebagai sekadar formalitas untuk “dibereskan” melalui mekanisme penyetoran ulang ke kas daerah. Itu hanyalah awal.
Kejaksaan punya tiga tugas pokok dalam kasus ini:
1. Menyelidiki secara terbuka apakah ada unsur pidana dalam kelebihan pembayaran.
2. Memanggil dan memeriksa pejabat terkait, termasuk Sekretaris DPRD, Kasubag Keuangan, Bendahara, hingga unsur pimpinan DPRD.
3. Menyampaikan perkembangan ke publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.
Jika Kejaksaan bungkam, maka masyarakat akan menilai lembaga hukum hanya sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan yang ikut melindungi penyimpangan.
Pengembalian kelebihan tunjangan DPRD Kabupaten Gorontalo tidak boleh dimaknai sebagai akhir perkara. Jika dibiarkan, hal ini menciptakan preseden buruk tentang setiap penyimpangan cukup ditebus dengan “bayar balik”.
Sejarawan hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Syamsul Bahri, pernah mengingatkan bahwa “Impunitas adalah akar dari suburnya korupsi di daerah. Begitu praktik salah hitung atau manipulasi dibiarkan tanpa sanksi pidana, maka pelakunya akan merasa aman mengulanginya.”
Oleh karena itu, masyarakat harus menagih komitmen Kejaksaan. Tidak boleh ada kesan “main mata” antara aparat penegak hukum dengan elit politik daerah.
Dugaan pemalsuan dokumen pembayaran di DPRD Kabupaten Gorontalo adalah ujian serius bagi akuntabilitas pemerintahan daerah dan kredibilitas penegak hukum. Membayar kembali kelebihan tunjangan tidak boleh dimaknai sebagai akhir dari perkara.
Keadilan tidak bisa ditebus dengan miliaran rupiah yang dikembalikan ke kas daerah. Keadilan hanya bisa ditegakkan dengan membuka kebenaran, menindak pelaku, dan memastikan praktik serupa tidak terulang.
Jika Kejaksaan berani menindak, publik akan kembali percaya. Jika tidak, maka DPRD Kabupaten Gorontalo akan tercatat bukan sebagai lembaga pengawas rakyat, melainkan sebagai lembaga yang menggadaikan integritas demi angka-angka di atas kertas.