Example floating
Example floating
Tajuk

Thomas Mopili, Amplop Coklat, dan Permainan Kata yang Melecehkan Akal Sehat Publik

×

Thomas Mopili, Amplop Coklat, dan Permainan Kata yang Melecehkan Akal Sehat Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Jhojo Rumampuk

Publik Gorontalo tengah disuguhkan pertunjukan politik murahan yang mengoyak kewarasan logika dan etika jabatan. Tokohnya bukan orang sembarangan, ia Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili.

Example 300x300

Sosok yang di satu sisi berteriak bersih dari suap, namun di sisi lain melalui jejak rekam pernyataan dan inkonsistensinya justru menampilkan sisi kelam dari mental pejabat publik yang “bermain dengan pernyataan.”

Kisah bermula dari pengakuan terbuka Thomas Mopili saat wawancara resmi di bulan Ramadhan, bahwa dirinya menerima sebuah amplop coklat tebal seukuran laptop dari perwakilan PT. PETS.

Tanpa tekanan, ia menyebut dua stafnya, Nando dan Erna, sebagai saksi yang ia tugaskan untuk mengembalikan amplop tersebut kepada pihak pengantar, tepat saat pelaksanaan MoU antara PT. PETS dan Polda Gorontalo di Jakarta.

Sampai di sini, publik sempat berharap bahwa setidaknya ada pejabat yang sadar diri dan bertanggung jawab dengan membatasi ruang abu-abu dalam relasi kekuasaan dan uang.

Tapi ternyata, itu hanyalah awal dari dramaturgi pengingkaran yang memalukan.Tiga Hari Kemudian  Narasi Berubah, Kebenaran Dipermainkan. Tak sampai tiga hari, publik dikejutkan oleh pernyataan resmi Thomas Mopili yang membantah pengakuannya sendiri.

Ia mengatakan bahwa tidak pernah menyampaikan hal demikian, dan seolah ingin mencabut pengakuan sebelumnya. Yang lebih menggelikan, saat diperiksa oleh Badan Kehormatan DPRD, Thomas mengakui lagi pernyataan itu, tapi berdalih bahwa itu hanya candaan dan ia tidak tahu kalau sedang direkam.

Apakah pejabat sekelas Ketua DPRD bisa berseloroh soal penerimaan amplop tebal dari perusahaan tambang dalam suasana wawancara resmi? Apakah akal sehat publik sebegitu murahnya untuk dihinakan dengan alibi “tidak tahu direkam”?

Kebohongan yang Berlapis, Etika yang Terjungkal. Tidak berhenti di situ, Ketua Badan Kehormatan DPRD sendiri yang seharusnya menegakkan etik ikut memperparah luka kepercayaan publik dengan mengutip pernyataan Thomas Mopili: “Harga diri saya tidak senilai 50 juta.”

Kalimat ini menampar logika. Bagaimana mungkin Thomas Mopili tahu bahwa isi amplop itu 50 juta kalau ia tidak pernah membuka? Atau justru ia tahu isi amplop tanpa membukanya, yang justru mengindikasikan bahwa ia mengetahui maksud dari amplop itu sejak awal ?

Maka pertanyaan kritis pun kini lahir,

1. Darimana Thomas Mopili tahu isi amplop adalah uang?

2. Mengapa ia menyebut angka nominal jika tidak pernah menghitung atau menerima?

3. Mengapa pernyataan berubah begitu cepat, dari pengakuan → bantahan → pengakuan lagi yang dibalut “candaan”?

Ini bukan lagi persoalan amplop. Ini adalah krisis moral dan keteladanan pejabat publik. Seorang Ketua DPRD yang bermain dengan kata-kata untuk melindungi citra diri, sementara fakta dan waktu terus menggerus kredibilitasnya.

Ketika publik menyaksikan bagaimana seorang Ketua DPRD mengubah-ubah cerita seperti mengganti baju, maka yang terkikis bukan hanya rasa hormat, tapi juga kepercayaan terhadap lembaga legislatif itu sendiri.

Gorontalo bukan tanah tanpa memori. Rakyat mencatat. Rekaman tak bisa dibohongi. Dan ucapan tidak bisa ditarik begitu saja seperti lembaran kertas yang robek.

Kalau benar Thomas Mopili tidak pernah menerima sepeser pun uang, seharusnya ia konsisten sejak awal. Tidak mencla-mencle. Tidak berdalih candaan. Dan tidak menyebut nominal jika memang tidak membuka isi amplop.

Kini, amplop coklat itu telah menjadi simbol. Bukan hanya dugaan suap, tapi juga ambruknya etika pejabat yang seharusnya menjadi teladan. Dalam negara hukum, bukan hanya perbuatan yang dinilai, tapi itikad dan moralitas.

Masyarakat kini tidak bodoh. Mereka tahu mana kebenaran yang sedang dipermainkan, dan mana rekayasa yang dibungkus dengan retorika. Jika amplop itu benar-benar dikembalikan dan tidak diterima, mestinya itu menjadi catatan etik yang terhormat.

Tapi ketika pengakuan berubah menjadi candaan, dan kejujuran diubah jadi penghindaran, maka kita sedang menyaksikan bagaimana pejabat bermain-main di atas reruntuhan kepercayaan rakyat. (Bersambung)

Selanjutnya : Untuk Apa Thomas Mopili Meminta Dokumen Perizinan PT. PETS Secara Pribadi Saat Berada di Jakarta ? Padahal, RDP Yang Dilaksanakan Pada Tanggal 20 Januari 2025 dilakukan bersama Gabungan Komisi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Example 300x300
Example 120x600