FAKTA NEWS – Tajuk. Dugaan korupsi Tunjangan Anggota dan Pimpinan DPRD Kabupaten Gorontalo serta Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) tahun anggaran 2022–2023 kini menyeruak sebagai skandal besar yang menampar wajah lembaga legislatif daerah.
Indikasi penyalahgunaan anggaran yang melibatkan 35 anggota DPRD periode 2019–2024 dan sedikitnya 3 pejabat Sekretariat Dewan menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah DPRD yang seharusnya menjadi pengawas pemerintah justru berubah menjadi “pemusnah kepercayaan rakyat” dengan merampok uang daerah melalui tunjangan yang tidak sah ?.
Dari informasi yang berkembang, dugaan korupsi ini berakar pada pemberian dan pencairan Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan berbagai fasilitas tunjangan bagi anggota serta pimpinan DPRD.
Padahal, aturan main terkait TKI sudah diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam regulasi tersebut, TKI hanya diperbolehkan jika sesuai dengan kemampuan keuangan daerah serta mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Namun yang terjadi di Kabupaten Gorontalo, muncul dugaan adanya rekayasa dokumen, manipulasi dasar hukum, hingga permainan perhitungan belanja daerah sehingga tunjangan tetap cair meski tidak sesuai regulasi.
Lebih parah lagi, pencairan tersebut dilakukan berulang selama tahun anggaran 2022–2023, yang artinya praktik ini bukan kebetulan administratif, melainkan sistematis dan terstruktur.
Ironinya, dugaan ini bukan sekadar menyasar satu-dua oknum. Seluruh 35 anggota DPRD periode 2019–2024 disebut ikut menikmati aliran dana yang tidak sah ini. Ditambah lagi dengan keterlibatan pejabat Sekretariat DPRD yang seharusnya berfungsi sebagai penata administrasi dan pengelola anggaran, justru menjadi bagian dari permainan kotor.
Jika benar semua anggota DPRD terlibat, maka kita berhadapan dengan “korupsi kolektif”, sebuah ironi ketika lembaga yang mestinya menjalankan fungsi pengawasan justru beramai-ramai menggerogoti keuangan daerah. Situasi ini mengingatkan pada adagium klasik.
“siapa yang mengawasi pengawas?”
Bila penyidikan benar-benar menyingkap bukti kuat, maka seluruh pihak yang menikmati atau ikut memuluskan pencairan TKI berpotensi dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 : Perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara, ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara.
Pasal 3 : Penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain yang merugikan negara, ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Selain itu, keterlibatan kolektif pejabat Sekretariat DPRD dapat masuk kategori penyertaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.
Kasus ini akan menjadi preseden kelam bagi demokrasi lokal di Kabupaten Gorontalo. DPRD yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru berubah menjadi simbol kerakusan elit politik daerah. Rakyat yang memilih mereka untuk menyuarakan kepentingan publik justru dikhianati demi uang tunjangan yang tidak sah.
Lebih dari itu, kasus ini mencerminkan bobroknya integritas kelembagaan: mulai dari proses perencanaan anggaran, pengawasan internal, hingga pencairan yang seharusnya melewati mekanisme ketat.
Jika semua pintu bisa ditembus demi kenyamanan pribadi, bagaimana mungkin rakyat percaya pada sistem pemerintahan daerah?
Pertanyaan paling tajam adalah, beranikah penegak hukum menetapkan 35 anggota DPRD sekaligus sebagai tersangka?
Ataukah kasus ini akan dipangkas, dibatasi hanya pada pejabat teknis, sementara para legislator berlindung di balik status politik mereka?
Sejarah penanganan kasus korupsi di Indonesia seringkali menunjukkan bahwa keberanian aparat penegak hukum diuji saat menyentuh figur politik. Jika Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo benar-benar konsisten menegakkan hukum tanpa pandang bulu, maka status tersangka kolektif bukanlah hal yang mustahil. Apalagi kerugian negara akibat permainan tunjangan ini ditaksir mencapai miliaran rupiah, angka yang jelas tidak bisa dipandang sepele.
Dugaan korupsi TKI dan tunjangan DPRD Kabupaten Gorontalo ini bukan sekadar persoalan uang, tetapi soal pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Masyarakat sudah bosan melihat praktik hukum tebang pilih.
Jika benar ada bukti kuat, maka tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk ragu menjerat semua yang terlibat, baik anggota DPRD maupun pejabat Sekretariat.
Kasus ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa hukum tidak tunduk pada politik, dan keadilan tidak bisa dibeli dengan kursi DPRD. Jika 35 anggota dewan dan 3 pejabat sekretariat benar-benar menjadi tersangka, maka itu bukan tragedi, melainkan pembersihan yang akan menyelamatkan demokrasi lokal dari kebusukan yang lebih dalam.