FAKTA NEWS – Tajuk. Kasus dugaan korupsi Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) DPRD Kabupaten Gorontalo Tahun Anggaran 2022–2023 membuka wajah buram kolaborasi politik dan birokrasi di tingkat daerah. Bukan hanya perkara teknis salah hitung, melainkan praktik sistematis yang melibatkan dua pilar pemerintahan daerah: eksekutif dan legislatif.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Gorontalo menyingkap kejanggalan perhitungan Kemampuan Keuangan Daerah (KKD).
Pada tahun 2023, TAPD bersama Pemerintah Daerah tiba-tiba menetapkan KKD naik dari kategori rendah menjadi sedang. Perubahan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan dasar hukum untuk menaikkan tunjangan dan dana operasional DPRD.
Hasilnya? Para wakil rakyat menikmati kelebihan bayar miliaran rupiah.
Menurut LHP BPK, kelebihan bayar itu rinciannya antara lain:
1. Dana operasional pimpinan DPRD: Rp22.680.000
2. Tunjangan Komunikasi Intensif: Rp371.280.000
3. Tunjangan perumahan dan transportasi: Rp323.000.000
Kelebihan pembayaran dana operasional dan TKI secara keseluruhan sebesar Rp 3.859.265.655
Skandal ini menunjukkan eratnya relasi transaksional antara DPRD dan TAPD. DPRD sebagai lembaga pengawas justru diuntungkan langsung dari kebijakan yang dibuat eksekutif.
TAPD sendiri terdiri dari pejabat strategis pemerintah daerah seperti Sekda, Kepala BPKAD, Kepala Bappeda, serta pejabat pengelola anggaran lainnya. Mereka yang menandatangani perhitungan KKD kini juga ikut diperiksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo.
Sementara itu, 35 anggota DPRD periode 2019–2024, dari berbagai partai politik, disebut dalam daftar penerima kelebihan bayar. Dari Gerindra, PDIP, Golkar, NasDem, PKS, PPP, PAN, Hanura hingga Demokrat, semua terseret.
Artinya, ini bukan kasus personal, melainkan korupsi berjamaah.
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, Dr. Abvianto Syaifullah, SH., MH, telah mengumumkan bahwa perkara ini resmi naik ke tahap penyidikan. Sejumlah pejabat TAPD sudah dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun, publik menanti langkah selanjutnya, apakah 35 anggota DPRD juga akan diproses hukum?
Bagi masyarakat, kasus ini adalah tamparan keras. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga kontrol anggaran justru ikut menggerogoti APBD. Situasi ini semakin ironis mengingat Kabupaten Gorontalo masih bergelut dengan masalah kemiskinan, pengangguran, hingga infrastruktur dasar yang minim.
Kepercayaan publik pada DPRD menurun drastis. Menjelang berakhirnya periode 2019–2024, daftar panjang nama legislator yang terancam pidana justru bisa menjadi catatan hitam bagi demokrasi lokal.
Berikut Daftar 35 Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo Periode 2019–2024
1. Anton A. N Ahmad, SH – Partai Gerindra
2. Asni U. Menu – PDI Perjuangan
3. Alm. Drs. Ali Dj. Polapa – PDI Perjuangan
4. Sukarman Osam Humonggio, S.Sos – PDI Perjuangan
5. Sahmid Hemu, SE., MM – PDI Perjuangan
6. Iskandar Mangopa – Partai Golkar
7. Arifin Kilo – Partai Golkar
8. Irwan I. Dai – Partai Golkar
9. Abdul Haris A. Engahu, SH – Partai Golkar
10. Wilvon Malahika, S.Pd – Partai Golkar
11. Yunus Dunggio, SE – Partai Golkar
12. Drs. H. Jarwadi Mamu – Partai NasDem
13. Hj. Wisno Nusi – Partai NasDem
14. Roman Nasaru, SE., MM – Partai NasDem
15. Sarifa Pangalima, S.Ag – Partai NasDem
16. Irman S. Mooduto, S.IP – PKS
17. Eman Mangopa, SE – PKS
18. Safrudin Hanasi, SH – PKS
19. Jayusdi Rifai – PPP
20. Hendra R. Abdul – PPP
21. Rahmat Hasan, SE – PPP
22. Syam T. Ase, SE., M.Si – PPP
23. Viecriyanto Y. Mohamad – PPP
24. Safrudin Mangopa – PPP
25. Rusli M. Panigoro – PPP
26. Ningsih Nurhamidin – PAN
27. Hamka Pakaja, SE – PAN
28. Sladauri DJ. Kinga – PAN
29. Selfi Mandagi – PAN
30. Jasmia Suleman – Hanura
31. Suwandi DJ. Musa – Hanura
32. Nasir Santje Potale – Demokrat
33. Amir Habuke, SH – Demokrat
34. Syarifudin Bano, S.Sos – Demokrat
35. Yusri A. Salam – Demokrat
Kasus dugaan korupsi TKI DPRD Kabupaten Gorontalo adalah cermin retaknya integritas politik daerah. Ia menyingkap bagaimana sebuah formula teknokratis bernama KKD bisa dijadikan instrumen untuk memperkaya elit politik.
Kini, mata publik tertuju pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo. Jika perkara ini tuntas dengan adil, ada harapan hukum masih memiliki taring. Namun jika kompromi politik mengalahkan keadilan, maka yang runtuh bukan hanya angka miliaran rupiah, melainkan juga kepercayaan rakyat pada demokrasi dan supremasi hukum.