Oleh : Redaksi Fakta News
Fakta News – Tajuk. Sejarah panjang aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, kini menjelma menjadi cermin retak dari integritas penegakan hukum di Gorontalo.
Di balik suara mesin ekskavator yang terus meraung di lembah-lembah Ilota dan Tihuo, sesungguhnya ada kebisuan yang menyesakkan dari mereka (Polda Gorontalo) yang seharusnya menjaga hukum.
Sudah lebih dari satu dekade masyarakat mendengar janji penertiban PETI. Namun ironisnya, sembilan titik tambang ilegal di Dengilo tetap hidup, bahkan makin meluas.
Berdasarkan hasil identifikasi lapangan, terungkap 13 nama pelaku usaha yang mengoperasikan alat berat di kawasan tersebut sebagian bahkan terang-terangan diketahui siapa penyandang dan “pelindungnya”.
Dari data yang diperoleh, lokasi Ilota dan Tihuo kini menjadi semacam “zona abu-abu” di mana hukum tak lagi berfungsi sebagai alat keadilan, melainkan alat negosiasi.
Di sana, setiap unit alat berat punya “jalur kontribusi”, ada yang lewat institusi keamanan, ada pula yang lewat perantara bernama “Yoker”, seolah menggambarkan bahwa sistem perlindungan ini telah terstruktur.
Lalu, di mana Kapolda, Wakapolda, dan Irwasda?
Mengapa tidak satu pun tindakan nyata dilakukan?
Apakah aparat penegak hukum sudah menyerah, atau justru ikut menari dalam lingkaran keuntungan tambang ilegal?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, tetapi tudingan moral yang lahir dari fakta lapangan. Bagaimana mungkin, di tengah gencarnya operasi Polri terhadap PETI di daerah lain, Dengilo justru menjadi “zona nyaman” bagi para pelaku tambang ilegal?
Jika benar ada kontribusi “lewat institusi keamanan”, maka publik berhak menilai bahwa pengkhianatan itu bukan lagi dugaan, melainkan kenyataan yang hidup di depan mata.
Mari kita lihat kembali data yang beredar:
1. Ilota – Pelaku U & E (1 unit, CET) – kontribusi lewat institusi keamanan.
2. Tihuo – Pelaku PS (1 unit, HYUNDAI) – kontribusi belum diketahui.
3. Tihuo – Pelaku IR (1 unit, HYUNDAI) – kontribusi lewat Yoker.
4. Ilota – GTM (1 unit, ZOMOLIONG) – kontribusi lewat Yoker.
5. Ilota – C & N (1 unit, CET) – kontribusi lewat Yoker.
6. Ilota – BB & NRD (1 unit, JCB) – kontribusi tidak jelas.
7. Ilota – Pelaku tak dikenal (2 unit, ZOMOLIONG & HYUNDAI) – kontribusi tidak jelas.
8. Tihuo – AC (4 unit, CET, HITACHI, HYUNDAI) – kontribusi tak jelas.
9. Tihuo – BGN & RXS (3 unit, SANY & CET) – kontribusi lewat institusi keamanan.
Total ada 14 unit alat berat yang beroperasi di area ilegal, tanpa satu pun izin usaha pertambangan. Namun anehnya, tak ada laporan penindakan resmi dari Polda Gorontalo maupun Polres Pohuwato.
Apakah penegakan hukum di Gorontalo kini hanya berlaku bagi mereka yang kecil dan tak punya jaringan?
Institusi Keamanan atau Institusi Kompromi?
Dalam banyak kasus di daerah lain, “kontribusi lewat institusi keamanan” kerap menjadi kalimat sandi untuk suap atau setoran perlindungan. Bila praktik seperti ini berlangsung di Dengilo, maka kita harus menyebutnya dengan nama yang tepat, pengkhianatan terhadap sumpah Bhayangkara.
Polisi seharusnya menjadi garda terdepan menegakkan hukum, bukan menjadi “investor diam” dalam bisnis ilegal yang merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat.
PETI di Dengilo bukan hanya soal emas, tapi soal kehancuran moral dan rusaknya wibawa negara.
Kapolda, Wakapolda, dan Irwasda Gorontalo kini berdiri di persimpangan sejarah. Mereka bisa memilih menjadi pembersih noda di tubuh institusi, atau justru menjadi bagian dari noda itu sendiri.
Kita masyarakat menunggu tindakan, bukan klarifikasi normatif. Karena hukum yang tidak ditegakkan, sama saja dengan hukum yang dikubur.
Jika benar Polda Gorontalo mengetahui sembilan titik PETI itu namun membiarkannya, maka itulah bentuk tertinggi dari pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Pengkhianatan terhadap amanah rakyat yang menuntut keadilan. Dan pengkhianatan terhadap cita-cita Polri yang konon katanya hadir untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Dengilo hari ini adalah potret telanjang tentang bagaimana ketika hukum bisa dibeli, keadilan bisa disewa, dan diam menjadi mata uang paling berharga.
Pertanyaannya tinggal satu.
Apakah Polda Gorontalo masih berpihak pada hukum atau pada tambang?
![]()










