Oleh : Redaksi Fakta News
Fakta News – Tajuk. Di tengah gencarnya klaim pemerataan pendidikan di Provinsi Gorontalo, sebuah ironi menggantung pilu di Dusun Sandalan, Desa Panca Karsa 1, Kecamatan Taluditi.
Sudah kurang lebih enam tahun, sekolah kelas jauh yang berada di dusun tersebut hanya memiliki satu orang guru.
Satu-satunya tenaga pendidik itu menjadi tumpuan puluhan anak yang bercita-cita menyentuh pintu masa depan, sementara negara yang seharusnya hadir justru absen.
Lebih menyakitkan, sejak tiga hari terakhir, proses belajar mengajar di sekolah itu terhenti total. Bukan karena bencana, bukan karena libur nasional, bukan pula karena renovasi sekolah, melainkan karena satu-satunya guru tersebut izin keluar daerah menghadiri acara keluarga dan menjemput anak yang sakit di Kota Gorontalo.
Yang menjadi pertanyaan besar, di mana pemerintah?
Dan, apa fungsi Dinas Pendidikan jika tidak mampu mengurus satu sekolah kelas jauh?
Tokoh masyarakat Dusun Sandalan sekaligus mantan Kepala Dusun, Yunus Moha, dengan tegas menyatakan bahwa masalah ini bukan hal baru, bukan pula hal yang tiba-tiba menjadi sorotan.
Menurutnya, pemerintah desa dan masyarakat setempat berulang kali menyampaikan keluhan ke Dinas Pendidikan. Namun hingga kini, jawaban yang mereka terima hanyalah diam, janji kosong, dan sikap seolah persoalan tersebut tidak pernah ada.
“Kami sudah sampaikan ke Dinas Pendidikan, tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Bahkan selama sekolah ini ada, Dinas Pendidikan belum pernah datang mengecek kondisi sekolah,” tegas Yunus Moha.
Sekolah jauh Sandalan berada di bawah induk administratif SDN 1 Taluditi. Secara aturan, ketika guru tidak hadir, kepala sekolah memiliki kewenangan menugaskan guru lain sebagai pengganti agar pendidikan tetap berjalan.
Namun kenyataannya, tidak ada guru pengganti, tidak ada surat tugas substitusi, tidak ada evaluasi manajerial dan tidak ada kepedulian.
Keputusan kepala sekolah yang membiarkan murid diliburkan selama tiga hari tanpa solusi dinilai sebagai bentuk kelalaian, sekaligus mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan dinas pendidikan.
“Yang aneh, kepala sekolah tidak mengutus satu pun guru pengganti, padahal sekolah induknya dekat dan berada dalam satu struktur. Seolah-olah kelas jauh Sandalan tidak penting,” tambah Yunus.
Di kota, pejabat pendidikan sibuk bicara tentang Peningkatan mutu, pemerataan akses, transformasi pendidikan dan digitalisasi sekolah
Namun di Sandalan, *anak-anak masih belajar dengan kondisi kurang guru, fasilitas minim, tanpa perhatian.
Sementara dokumen pemerintah penuh jargon, “Tidak ada anak yang tertinggal dalam pendidikan.”
Fakta di Sandalan membantah itu semua. Dimana masyarakat Dusun Sandalan tidak meminta gedung megah. Tidak meminta AC, laboratorium modern, atau fasilitas canggih. Yang mereka minta sederhana,
Warga Dusun Sandalan menegaskan, mereka tidak lagi ingin dijanjikan—mereka ingin ditindaklanjuti. Pernyataan dan janji politik tidak lagi relevan.
Mereka menuntut:
1. Penambahan guru minimal 2 orang.
2. Evaluasi kepala sekolah SDN 1 Taluditi terkait manajemen kelas jauh.
3. Kunjungan resmi dan audit pendidikan oleh Dinas Pendidikan.
4. Rencana kerja konkret, bukan wacana.
Hari ini, di banyak tempat sekolah dibanggakan, prestasi diumumkan, gedung baru diresmikan, dan anggaran pendidikan diklaim naik setiap tahun. Namun di Sandalan, fakta berbicara lain, anak-anak belajar dalam kesunyian ketidakadilan.
Jika pendidikan adalah jembatan masa depan, maka Dusun Sandalan selama ini menyeberang tanpa jembatan, hanya dengan harapan dan kesabaran.
Pertanyaannya kini sederhana namun serius, Berapa lama lagi mereka harus menunggu sebelum hak pendidikan mereka benar-benar diakui sebagai hak, bukan beban administrasi?
![]()












